Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan perbankan Rusia Sberbank, mengumumkan bahwa mereka ikut terjun ke dalam tren kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dengan merilis GigaChat.
GigaChat adalah sebuah chatbot AI, yang disebut-sebut akan masuk ke jajaran penantang baru ChatGPT buatan OpenAI. Meski begitu, platform ini masih dalam uji coba khusus undangan.
Baca Juga
Menurut Sberbank, seperti mengutip Gizchina, Jumat (28/4/2023), yang membedakan GigaChat dari global neural networks lainnya, adalah kemampuannya untuk berkomunikasi dengan lebih cerdas dalam bahasa Rusia.
Advertisement
Sejak negara-negara Barat menghentikan ekspor nya di Rusia sebagai buntut Perang Ukraina, bank terkemuka Rusia itu telah berinvestasi besar dalam teknologi, untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor.
GigaChat pun menjadi salah satu hasil dari investasi mereka di bidang teknologi.
Mengutip The Moscow Times, Sberbank mengklaim GigaChat punya keunggulan dibanding chatbot AI lainnya, salah satunya adalah kemampuannya untuk menghasilkan gambar.
CEO Sberbank Herman Gref pun menggambarkan GigaChat sebagai "terobosan untuk dunia teknologi Rusia yang lebih luas."
"Penting untuk dicatat bahwa GigaChat dapat digunakan tidak hanya oleh mereka yang suka bereksperimen dengan teknologi baru, tetapi juga oleh pelajar, dan bahkan peneliti untuk karya ilmiah yang serius," ujarnya.
Gref sendiri pernah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Ekonomi dalam dua masa jabatan pertama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pemerintah AS Siapkan Regulasi AI
Di sisi lain, Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengumumkan sedang menanti respons publik untuk langkah-langkah akuntabilitas terkait aturan sistem kecerdasan buatan atau AI.
Regulasi ini disiapkan atas kekhawatiran risiko dan dampak teknologi tersebut terhadap keamanan nasional dan pendidikan.
Kesuksesan ChatGPT telah memicu pengawasan ketat terhadap teknologi AI dalam beberapa bulan terakhir. Sebab, kecanggihannya dalam menjawab permintaan dan pertanyaan dengan cepat mampu menarik 100 juta pengguna aktif bulanan.
Pencapaian tersebut menjadikannya sebagai aplikasi konsumen dengan tingkat pertumbuhan tercepat dalam sejarah. Meski memicu optimisme tentang pemanfaatan teknologi, alat semacam ini masih memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian.
Mengutip New York Post, Kamis (13/4/2023), badan dari Departemen Perdagangan, Administrasi Telekomunikasi dan Informasi Nasional (NTIA), memerlukan masukan publik guna pengujian kepercayaan dan keamanan perusahaan AI.
Langkah ini pun diharapkan akan membantu pemerintah memastikan alat AI berfungsi dengan seharusnya sesuai klaim pengembang, tanpa menimbulkan potensi bahaya.
Advertisement
Kata Joe Biden Soal Maraknya AI
Kepala NTIA Departemen Perdagangan, Alan Davidson, menyatakan bahwa keamanan sistem AI yang dapat dipercaya penting untuk mencapai manfaat sepenuhnya.
"Sistem AI yang bertanggung jawab dapat membawa manfaat yang sangat besar, tetapi hanya jika kita mengatasi potensi konsekuensi dan kerugiannya," ungkap Davidson.
Ketika ditanya minggu lalu tentang ancaman yang ditimbulkan teknologi ini, Presiden Joe Biden mengatakan bahwa potensi AI yang dapat membahayakan publik masih harus ditinjau.
"Menurut saya, perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab untuk memastikan produk mereka aman sebelum dipublikasikan," ujar Biden.
Risiko AI Juga Tarik Perhatian China
Tak hanya di Amerika, risiko yang ditimbulkan AI juga menarik perhatian regulator di China. Sebuah badan pengawas utama, Cyberspace Administration of China, meluncurkan rancangan pedoman untuk mengatur sistem “AI generatif”.
Selain melakukan tinjauan keamanan layanan, badan tersebut juga akan memastikan bahwa perusahaan pengembang alat AI bertanggung jawab atas keakuratan konten mereka.
Menurut Bloomberg, perusahaan juga dituntut untuk transparan tentang kumpulan data yang digunakan untuk melatih alat semacam ini. Perusahaan yang tidak mematuhi pedoman pun dapat menghadapi denda atau bahkan pemeriksaan pidana.
(Dio/Isk)
Advertisement