Liputan6.com, Jakarta - Banyak konsumen Indonesia yang diketahui akan belanja online untuk memenuhi kebutuhan Ramadan tahun ini.
Data survei YouGov mengungkap setidaknya ada 70 persen responden yang berencana membeli produk busana, perawatan pribadi, dan konsmetik lewat berbagai platform e-commerce.
Baca Juga
Penjualan Brand Lokal dan UMKM Naik 7 Kali Lipat di Kampanye 12.12, Produk Fesyen dan Kosmetik Terlaris
ShopeeFood Checkout Murah Jadi Pilihan Favorit Pengguna, Penjualan Merchant Meningkat 6 Kali Lipat
Brand Lokal dan UMKM Bersinar di Akhir Tahun, Penjualan Melonjak hingga 7 Kali Lipat di Puncak 12.12 Birthday Sale
Selama musim hari raya, seperti menjelang Lebaran, aktivitas ritel online diketahui mencapai puncaknya, sehingga bisa menjadi momen tepat bagi penjahat siber untuk mengeksploitasi kerentanan.
Advertisement
Di sisi lain, pada periode ini, jumlah staf di tim TI dan keamanan berkurang, yang membuat waktu respons terhadap potensi ancaman menjadi lebih lambat. Karenanya, menurut Country Director Fortinet di Indonesia, Edwin Li, pedagang online perlu bersikap proaktif.
"Jadi untuk mengantisipasi kejahatan di dunia siber selama Ramadan dan Lebaran, pedagang online perlu mengambil sikap proaktif dalam keamanan siber (cybersecurity) karena lebih sering jadi sasaran dibandingkan dengan industri lain," tuturnya dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (7/4/2024).
Alasannya, kelalaian mengatasi risiko ancaman siber ini menimbulkan berbagai celah yang membahayakan konsumen. Beberapa di antaranya adalah pencurian identitas dan pencurian informasi pembayaran.
Terlebih, angka transaksi e-commerce di Indonesia yang tinggi mendorong kerentanan transaksi serta terjadinya kejahatan siber.
Untuk itu, kelalaian mengatasi ancaman siber ini dapat mengakibatkan gangguan dalam pengalaman belanja online, seperti kerusakan situs dan keterlambatan pemrosesan.
Perlu Strategi Spesifik
Untuk mengantisipasi serangan siber yang kian gencar dan bervariasi, menurut Edwin, perlu ada strategi yang spesifik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikaan, seperti melakukan pendekatan menyeluruh dan berlapis soal keamanan siber, meliputi teknologi, proses, dan manusia.
"Mereka perlu menggabungkan sistem inteligensi ancaman dengan arsitektur keamanan lebih luas untuk mendapatkan visibilitas lebih baik dan mengotomasi tindakan yang akan diambil untuk mengatasi ancaman dan mencegah insiden di masa depan," tutur Edwin.
Seperti diungkap dari survei State of SecOps Fortinet di Indonesia, pelatihan yang tidak memadai, kurangnya kepedulian terhadap karyawan dan komunikasi tidak memadai merupakan kontribusi pada lonjakan serangan siber.
Hal ini menegaskan elemen manusia dalam keamanan siber, yang dapat diatasi dengan memiliki rencana komprehensif apabila terjadi pelanggaran, cadangan data penting yang aman, serta inisiatif edukasi yang ditujukan bagi karyawan serta pelanggan untuk memitigasi risiko.
Advertisement
Pemanfaatan Platform yang Komprehensif
Konsolidasi layanan keamanan melalui platform yang komprehensif juga dapat menyederhanakan manajemen dan meningkatkan keamanan, terutama untuk bisnis global. Selain itu, penerapan pendekatan zero-trust, termasuk otentifikasi multifaktor menjadi sangat penting.
Terakhir, Edwin juga menyorot soal AI yang dapat mengambil peran dalam meningkatkan keamanan siber. Ia menjelaskan AI dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan keamanan siber di platform e-commerce.
Alasannya, AI dapat memberdayak automasi, menghilangkan kompleksitas lewat integrasi, serta memastikan semua alat keamanan bekerja secara terpadu. AI juga memfasilitasi pengumpulan dan analisis data secara real-time.
"Kami telah menyaksikan manfaat penerapan AI pada pelanggan yang secara drastis mengurangi waktu deteksi ancaman. Yang awalnya lebih dari 20 hari menjadi kurang dari satu jam, sekaligus mengurangi jangka waktu investigasi dan remediasi, yang awalnya lebih dari 18 jam menjadi 15 menit atau kurang," tuturnya menutup pernyataan.