Liputan6.com, Jakarta - Harga karet di pasar internasional saat ini tengah mengalami penurunan drastis. Pada 2000, harga karet sempat bertengger hingga US$ 5,7 per kilogram (kg), namun saat ini hanya mencapai US$ 1,6 per kg.
"Tahun 2000 cukup berhasil angkat harga karet sampai di level US$ 5,6-US$ 5,7 per kg. Harga saat ini sangat tidak bisa diterima hanya US$ 1,6 per kg dan pada tingkat petani tentu sangat menekan karena petani hanya terima Rp 6.000-Rp 7.000 per kg Itu tidak bisa kita terima," ujar Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2014).
Menurut dia , faktor utama yang menyebabkan harga karet menjadi anjlok karena terjadi perubahan struktur produksi karet dunia.
Saat ini, Vietnam menjadi produsen ketiga terbesar di dunia berhasil menggeser posisi Malaysia yang sebelumnya berada di posisi kedua di atas Indonesia.
"Jadi, Thailand paling besar, Indonesia sedikit di bawahnya, di bawah Thailand, Vietnam nomor tiga. Padahal, Vietnam tidak termasuk dalam International Tripartit Rubber Cooperation (ITRC). Masuknya vietnam tidak lagi kerja sama berkurang efektifnya. Laos dan Kamboja mulai masuk, bahkan India dan China jadi pemasok karet," tutur dia.
Bayu juga mengungkapkan faktor lain yang menyebabkan harga karet anjlok karena karena pada saat ini, permintaan pada industri otomotif tengah menurun, meskipun sifatnya itu siklus dan bukan permanen.
"Proyeksi produsen mobil akan tingkatkan penjualannya. Tetap akan dibutuhkan ban. Dan ban adalah produk akhir karet alam yang menampung 85% karet alam dunia masuk ke ban," lanjutnya.
Untuk mengatasi anjloknya harga ini, menurut Bayu ada tiga hal yang harus segera dilakukan, yaitu pertama, pemerintah akan mengusulkan agar ITRC ditingkatkan dan dikembangkan jadi Asean Rubber Committee atau Cooperation.
"Ada kerja smaa karet alam ASEAN. Jadi nggak hanya 3 negara, tapi bisa masuknya Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar untuk bergabung karet alam kerja sama itu. Tantangan industri karet seimbangkan kebutuhan dengan pasokan. Kalau kelebihan salah satu, dampaknya terasa disektor harga," ungkap Bayu.
Solusi kedua, dengan meningkatkan produktivitas karet rakyat, karena lebih dari 95% karet alam diproduksi oleh petani kecil dan perkebunan rakyat.
"Nah, kita harus tingkatkan produktivitasnya. Perkebunan di indonesia hanya 600-700 kg per hektar (ha), padahal negara tetanggan 2-3 ton per ha. Ini saya kira tantangan besar yang berlangsung lama. Tapi hasil perlu ditingkatkan," jelas dia.
Dan ketiga, yaitu dengan meningkatkan kualitas karet. "Karena faktor besar itu dipotong transportasi adalah masalah kualitas, kebersihan dari karet yang dihasilkan. Karet kita kotor selama ini," tandas Bayu. (Dny/Nrm)