Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus penyewaan 100 Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank DKI kembali digelar pada Jumat (10/10/2014) ini. Pada sidang kali ini, Direksi Bank DKI menjelaskan salah satu alasan utama direksi baru pada saat itu tidak setuju pada program pengembangan 100 layanan jaringan ATM di 100 lokasi karena tidak seimbangnya jumlah fasilitas transaksi ini dengan ukuran Bank DKI pada saat itu.
“ATM Bank DKI jumlahnya lebih banyak daripada ATM Bank Mandiri sebelum menjadi direksi pada Bank DKI Juni 2010,” kata Direktur Pemasaran Mulyatno Wibowo yang pada saat itu menjabat sebagai Plt Dirut Bank DKI dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor tentang kasus penyewaan 100 ATM Bank DKI, Jumat (10/10/2014).
Hal itulah yang juga disampaikan Dirut PT KSP Henry J Marathon pada saat penghentian sepihak kontrak sewa 100 ATM antara Bank DKI dengan PT KSP.
Sidang yang digelar hari ini juga menghadirkan auditor BPKP Syafruddin. Dalam kesaksiannya, Syafruddin menjelaskan tidak ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan PT KSP selaku vendor pengadaan 100 ATM bank DKI tahun 2009 pada proses lelang.
Kalau penyimpangannya memang terjadi pada panitia lelang PT Bank DKI sendiri bukan pada vendor PT KSP, kata Syafruddin menjawab pertanyaan hakim Sutijo yang menanyakan penjelasan ahli secara langsung mengenai penyimpangan yang dilakukan oleh vendor.
Advertisement
"Sesuai SK tersebut maka dilakukan penunjukan langsung setelah terjadi gagal lelang," tegas Syafruddin.
Ada hal menarik bahwa dalam menghitung kerugian negara ini, saksi menggunakan dokumen acuan SPK dari PT KSP kepada PT ISO yang sesuai fakta persidangan tidak lagi digunakan karena sudah diganti oleh Nota Kesepakatan.
Sebelumnya saksi Lily, sebagai Dirut PT ISO menjelaskan dasar kerjasama perusahaan tempatnya bekerja dengan PT KSP adalah Nota Kesepakatan bukan SPK lagi. (Nrm)