Gubernur BI Sebut Utang Swasta Perlu Diwaspadai

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan, ada tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia mulai dari harga komoditas dan utang swasta.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 21 Mei 2015, 12:50 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2015, 12:50 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia (2)
Ilustrasi Bank Indonesia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengingatkan para bankir bersiap menghadapi tantangan berat ke depan baik eksternal maupun internal terhadap ekonomi Indonesia.

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan, sentimen eksternal yang mempengaruhi ekonomi yaitu penguatan dolar Amerika Serikat (AS). "Ada super dolar dengan kecenderungan yang terus menguat," kata dia di Jakarta, Kamis (21/5/2015).

Selain itu, ekonomi global melemah yang didukung harga komoditas dunia cenderung tertekan selama tiga tahun ini juga mempengaruhi ekonomi Indonesia.

"Padahal komoditi andalan ekspor. Kondisi itu memberi tekanan dan berdampak nasional," kata Agus.

Dari dalam negeri, pihaknya menuturkan defisit transaksi berjalan belum pada posisi yang sehat. Lalu masih banyak perusahaan-perusahaan yang belum melakukan lindung nilai pada utangnya.  "Utang swasta memberi kewaspadaan tersendiri terutama yang tidak lindung nilai," ujar Agus.

Terkait hal tersebut, pihaknya mengaku bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk sektor jasa keuangan. Sebelumnya pertumbuhan utang luar negeri (ULN) sektor swasta melambat menjadi 13,6 persen (YoY) pada Januari 2015. Utang luar negeri sektor swasta mencapai US$ 162,9 miliar pada akhir Januari 2015. Angka ini 54,6 persen dari total utang luar negeri. Secara keseluruhan, posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Januari 2015 mencapai US$ 298,6 miliar atau tumbuh 10,1 persen Year on Year (YoY). 

Untuk perbaikan ekonomi, pihaknya mendukung pemerintah melakukan reformasi struktural. "Peningkatan kemandirian tersedia sumber pembiayaan pembangunan tentu harus didukung performa manajemen energi, pangan, baik infrastruktur soft ataupun hard," kata dia.

Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,71 persen secara tahunan (year on year/YoY) pada kuartal I 2015. Pertumbuhan ekonomi ini dinilai Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus karena konsumsi masyarakat yang relatif rendah dibandingkan periode sebelumnya.

"Semua komponen pengeluaran rumah tangga melambat. Hanya pengeluaran untuk makanan dan minuman, serta perumahan tidak melambat," kata Firdaus.

Ia mengatakan, rendahnya tingkat konsumsi rumah tangga ini disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berdampak pada lonjakan harga barang kebutuhan pokok. (Amd/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya