Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Kelistrikan, Fabby Tumiwa menilai program 47 daerah perbatasan teraliri listrik sebagai proyek kilat Menteri Kabinet Kerja untuk memenuhi janji Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pelaksanaannya, warga daerah perbatasan dan pulau terpencil ini harus mendapatkan akses listrik memadai tanpa byarpet.
"Sejauh ini yang dilakukan operasi kilat untuk memenuhi janji Presiden. Kalau operasi kilat saya khawatir dengan kualitasnya," tegas dia saat berbincang di Diskusi Energi Kita, Jakarta, Minggu (9/8/2015).
Baca Juga
Menurut Fabby, tantangan terbesar program ini adalah kehandalan optimalisasi pembangkit listrik. Sebab pembangkit listrik yang disediakan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan pengoperasiannya dipercayakan kepada PT PLN Persero. Pembangkit listrik itu berkapasitas 100 sampai 1.000 Kilowatt (Kw).
Advertisement
"Apalagi masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan harus didistribusikan di lokasi yang sangat jauh sehingga memakan biaya operasional besar," terang dia.
Fabby memprediksi, listrik yang akan menerangi 47 wilayah tersebut tidak akan menyala selama 24 jam penuh. Paling banter, sambung dia, bertahan 6 jam-8 jam per harinya.
"Itupun sebenarnya sudah cukup baik, asal menyala tiap hari. Tapi di daerah pelosok yang saya kunjungi, biasanya listrik nyala 6-8 jam, lalu mati 3 hari, dan nyala lagi," papar dia.
Fabby beralasan, potensi byarpet dapat terjadi karena operator PLN tidak melulu berada di wilayah terpencil itu sehingga sulit memantau operasional pembangkit maupun mesin diesel yang kerap ngadat.
"Jadi ini yang harus dipikirkan. Jangan sampai listrik menyala semua di 47 daerah perbatasan cuma 20 Agustus saja, setelah itu 3 hari padam. Sehingga proyek ini cuma dimanfaatkan buat pencitraan saja," harap dia. (Fik/Ahm)