Jawaban Menkeu Saat DPR Protes Soal Diskotek Bebas Pajak

Menkeu Bambang Brodjonegoro menuturkan penerbitan PMK soal kriteria jasa kesenian dan hiburan tak kena pajak untuk harmonisasi aturan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Agu 2015, 07:40 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2015, 07:40 WIB
Jokowi Bahas Hutang Aceh di Istana
Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro saat mengahadiri rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/3/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jasa kesenian dan hiburan, mulai dari nonton bioskop, diskotek, klub malam sampai pagelaran musik atau konser menimbulkan kontra dari sejumlah pihak. Salah satunya Komisi XI DPR yang protes atas kebijakan tersebut.

Wakil Ketua Komisi XI DPR, Marwan Cik Hasan mengkritisi pembebasan pungutan jasa hiburan dan kesenian mulai September 2015. Lantaran kebijakan ini dianggap bertolakbelakang dengan upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak.

"Kenapa dihapuskan pajaknya? Orang yang ke klab malam atau diskotek adalah orang-orang yang kelebihan uang karena kebutuhan pokok di rumahnya sudah selesai. Harusnya dipajaki lebih tinggi dong," ujar dia dalam Raker di Gedung DPR, Jakarta, seperti ditulis Selasa (25/8/2015).

Belum selesai dengan protes yang dilayangkan untuk Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, salah satu anggota Komisi XI tiba-tiba 'nyeletuk' bahwa dengan lontaran istilah bagi pengenaan pajak yang seharusnya dipungut untuk jasa hiburan diskotek, klub malam dan lainnya. "Itu namanya cukai kenikmatan. Justru harus mahal (pajaknya)," tegas dia.

Dalam kesempatan sama, Bambang mengklarifikasi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) soal kriteria jasa hiburan dan kesenian yang tidak dikenakan PPN.

"Ini salah pengertian. Kita akan membahas pajak daerah dan retribusi daerah, salah satunya pajak hotel, hiburan dan kesenian, pajak parkir dan lainnya," kata Bambang.

Penerbitan PMK tersebut, kata Bambang, dimaksudkan sebagai langkah harmonisasi aturan untuk menghindari pajak berganda dari dua arah. Menurut Bambang, klub malam maupun diskotek sudah dipungut pajak daerah, sehingga pemerintah pusat dilarang mengenakan pajak lagi.

"Jadi dikeluarkan dari PPN karena sudah ada yang memungut pajak daerah klab malam. Di Jakarta ada pajak daerah sampai 35 persen, sedangkan dalam aturan bisa mencapai 75 persen untuk retribusi daerah klab malam. Jadi ini bukan memberi insentif, tapi hanya harmonisasi peraturan," pungkas Bambang. (Fik/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya