Untung Rugi Pengembangan Blok Masela Versi SKK Migas

Blok Masela yang diperkirakan beroperasi pada 2024 tersebut memiliki potensi kandungan gas mencapai 10,7 triliun cubic feet.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 22 Sep 2015, 18:09 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2015, 18:09 WIB
Ilustrasi pipa gas
ilustrasi pipa Gas

Liputan6.com, Jakarta - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memberikan pandangan tentang rencana pengembangan infrastruktur penyaluran dan pengolahan gas di Blok Masela, Maluku.

Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi menjelaskan, ada dua metode untuk mengolah gas hasil Blok Masela menjadi gas alam cair atau Liquid Natural Gas (LNG). Pertama metode onshore atau di darat dengan membangun jaringan pipa dengan metode offshore atau di laut dengan menggunakan kapal pengolahan. 

Untuk penyaluran gas yang menggunakan pipa, ada dua kemungkinan lokasi tujuan. Pertama adalah Pulau Aru dengan bentang pipa 600 kilometer (km) dan kedua Pulau Saumelaki dengan jarak 200 km.

"kalau dari Masela ke Aru jaraknya 600 km kemudian dari Masela ke Saumelaki jaraknya lebih pendek, yaitu hanya 200 km," kata Amien, di Kantor SKK Migas, Jakarta, Selasa (22/9/2015).

Ia melanjutkan, meski jarak ke Saumelaki lebih dekat, namun yang harus dilalui oleh pipa cukup berat karena harus melintasi palung yang kedalamannya mencapai 1.500 meter. Oleh sebab itu, dibutuhkan pipa dengan teknologi canggih karena suhu dengan kedalaman sangat rendah.

"Kalau kami gelar pipa dengan kedalaman 1.500 meter, temperatur akan drop. Jadi harus ada perlakuan khusus. Perusahaan yang mempunyai teknologinya ada, SKK Migas sudah hubungi perusahaan pipa laut dalam seperti itu, teknologinya ada dan harganya mahal," tutur Amien.

Biaya yang diperlukan jika infrastruktur gas menggunakan pipa yang disalurkan ke daratan mencapai US$ 19,3 miliar. Namun jika fasilitas dilakukan di atas laut dengan menggunakan fasilitas pengolahan terapung (FLNG), maka kebutuhan dana investasinya hanya US$ 14,8 miliar.

Selain lebih mahal, penyaluran gas dengan pipa juga lebih rumit dan memakan waktu lebih lama yaitu mencapai 1,5 tahun. Lamanya waktu itu karena perlu pengkajian dan juga pembebasan lahan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengkaji pengembangan infrastruktur gas di Blok Masela..

Rizal mengatakan, blok yang diperkirakan bisa beroperasi pada 2024 tersebut memiliki potensi kandungan gas mencapai 10,7 triliun cubic feet (tcf). Karena itu, ada rencana membangun infrastruktur pengolahan gas.

Menurut Rizal, jika dihitung secara finansial, balik modal atau Internal Rate of Return (IRR) blok tersebut mencapai 15,04 persen dan menyumbang pendapatan negara hingga US$ 43,8 miliar. "Ini adalah blok gas yang sangat besar potensinya," katanya. 

Rizal mengungkapkan, ada dua pilihan pembangunan infrastruktur gas tersebut. Pertama, membangun fasilitas pengolahan terapung di laut dengan teknologi terbaru yang memakan biaya biaya US$ 14,8 miliar.

"Ada usul dari Shell untuk membangun floating unit untuk memproses gas itu di atas laut. Teknologi ini relatif baru. Shell pernah melakukannya di negara lain, dan Indonesia adalah yang kedua," tuturnya.

Ia menambahkan, pilihan kedua adalah membangun jaringan pipa sepanjang 600 kilometer (km) dari blok Masela yang terletak di Laut Arafuru menuju Pulau Aru dengan investasi US$ 19,3 miliar. "Pipanya itu kita bikin 600 km. Jadi dari lokasi ditemukannya gas, kita bangun pipa ke Aru," ungkapnya.

Untuk memutuskan pilihan tersebut ia menginstruksikan Kementerian ESDM berkoordinasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk melakukan kajian pembangunan infrastruktur gas di Blok Masela tersebut. (Pew/Gdn/Sar)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya