Bujuk Pengusaha dengan Insentif, Gelombang PHK Bisa Mereda

Pemerintah mengambil langkah tepat dengan melonggarkan kebijakan fiskal saat perekonomian nasional sedang lesu.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 01 Okt 2015, 08:15 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2015, 08:15 WIB
20150929-Angka-PHK-Jakarta
Ratusan pekerja yang tinggal di luar Ibu Kota saat tiba di stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (29/9/2015). Data Kemenaker per September 2015 sebanyak 43.085 orang terkena PHK akibat lambatnya pertumbuhan ekonomi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam paket kebijakan Ekonomi Jilid II atau juga disebut dengan Paket Kebijakan September II, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) mengiming-imingi pengusaha dengan insentif, antara lain pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor alat transportasi, diskon pajak deposito, insentif kawasan berikat dan percepatan izin investasi hanya dalam waktu 3 jam. Langkah tersebut diapresiasi untuk mengangkat persepsi investor bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen membantu dunia usaha.

Kepala Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Hendranata menilai, pemerintah mengambil langkah tepat dengan melonggarkan kebijakan fiskal saat perekonomian nasional sedang lesu. Strategi ini diakuinya memang bertentangan dengan upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak.

"Tapi mau tidak mau penerimaan pajak memang harus dikorbankan. Jika kebijakan fiskal tidak dilonggarkan, pengusaha tidak akan sanggup membayar pajak dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa terus terjadi," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (1/10/2015).

Anton menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yakni sekira 50 persen-55 persen. Dengan begitu, lanjutnya, pemerintah harus fokus pada langkah jangka pendek dengan menolong atau meningkatkan daya beli masyarakat ketimbang memaksakan penerimaan pajak.

"Kalau ini tidak bisa ditolong, maka persepsi dunia usaha atau investor kepada Indonesia semakin negatif, dan akibatnya rupiah terus tertekan. Jika kebijakan yang diambil salah, rupiah bisa lari makin jauh," tutur dia.

Di sisi lain, terang Anton, pemerintah perlu menjaga inflasi. Bahkan dirinya merekomendasikan pemerintah supaya melakukan impor apabila harga bahan pangan mengalami lonjakan. Misalnya harga daging sapi atau lainnya.

"Kita realistis saja lah, nasionalis memang penting tapi kita harus sadar diri karena produksi kita yang tidak mencukupi tingginya permintaan. Jadi begitu harga daging sapi naik, impor saja untuk stabilisasi harga dan inflasi," imbaunya.

Paling penting, kata Anton, pemerintah harus menunjukkan realisasi penyerapan pengeluaran atau belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebaik mungkin sampai akhir tahun ini. Belanja negara tersebut digunakan untuk membangun infrastruktur dan kegiatan produktif lain.

"Kalau semua ini dijalankan dengan komitmen dan terbukti, maka pelan-pelan persepsi sedikit terangkat. Dengan sendirinya, kepanikan berkurang dan nilai tukar rupiah akan menguat. Kasihan, fundamental kita sebenarnya tidak parah-parah amat, tapi rusak karena persepsi dan kepanikan," tegas dia. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya