Soal Kereta Cepat, Jepang Tak Akan Marah Karena Sudah Garap MRT

DPR sulit untuk menghentikan proses kereta cepat China karena sifatnya B to B dan tak masuk PMN.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 03 Okt 2015, 19:26 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2015, 19:26 WIB
20150905-Kereta-Cepat
Kereta Cepat Buatan Cina (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak proposal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang diajukan oleh pihak Jepang dan China. Penolakan ini dilakukan karena presiden tidak ingin proyek pembangunan kereta cepat menggunakan anggaran pemerintah. Oleh sebab itu, presiden menyarankan kepada kedua negara tersebut jika ingin melanjutkan proyek maka bisa menggunakan skema business to business. 

Saran tersebut kemudian diambil oleh pemerintah China. Sedangkan untuk Jepang memilih untuk menolaknya. Peneliti Populi Center Nico Harjanto mengatakan, meskipun Jepang menolak skema Business to business tersebut namun ia percaya bahwa Jepang tidak akan marah.

"Mungkin kecewa iya, tapi marah tidak. Karena mereka sudah garap MRT. Kemudian ada beberapa proyek kereta seperti di Sulawesi, serta Kalimantan," ujar Nico di Jakarta, Sabtu (3/10/2015).

Nico pun mengerti perasaan kecewa Jepang lantaran tak ada pemaparan dan terkesan tertutup soal keinginan pemerintah Indonesia. "Rasa kecewa itu karena tidak ada beauty contestnya. Ada kesan tidak terlihat apa sebenarnya keinginan pemerintah," tegas dia.

Disisi lain, Nico menegaskan DPR sulit untuk menghentikan proses kereta cepat China ini. Pasalnya, sifatnya yang B to B dan tak masuk PMN, membuat DPR sulit melakukan intervensi.

"DPR sulit melakukan intervensi karena memang sifatnya yang B to B dan bukan yang dimasukan dalam penyertaan modal negara," pungkas Nico.

Sebelumnya, akademisi Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, langkah pemerintah tetap meneruskan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung namun dengan skema B to B bisa memberikan dampak positif. Menurut dia, jalur tol Jakarta menuju Bandung selalu padat. Oleh sebab itu perlu sarana alternatif baru agar tidak terjadinya penumpukan dan menghabiskan waktu di jalan.

"Kita lihat dari sisi positifnya, memang ada kepadatan di Tol menuju Bandung. Ini artinya ada flow rutin. Dengan kereta cepat bisa mengurangi," ujar Berly.

Meski demikian, dosen Fakultas Ekonomi ini mengingatkan agar pemerintah pusat dan daerah, harus mempertimbangkan adanya moda transportasi penunjang di sekitar stasiun di Bandung nantinya.

"Ini kan rencananya akan berhenti di daerah Gede Bage. Itu masih sepi. Maka harus ada transportasi penunjang," tegas Berly.

Selain itu, dia mengingatkan pemerintah akan pentingnya harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Berly pun mencontohkan apa yang terjadi di Eropa, dimana baru memperoleh keuntungan setelah 26 tahun berjalan.

"Di Europe Tunnel, itu baru 26 tahun memperoleh profit. Artinya selama 26 tahun dia merugi. Sayangnya untuk Jakarta-Bandung ini kan belum terlihat berapanya. Kereta biasa saja sekarang harganya Rp 80 ribuan, kalau nanti dijual Rp 300 ribu, tidak laku itu," tegasnya. (Putu Merta/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya