Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Angkutan Daerat (Organda) mensinyalir pengunduran diri Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubdar Kemenhub), Djoko Sasono, karena merasa tertekan dengan segala bentuk pelanggaran lalu lintas yang kian merajalela. Pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh pejabat tinggi negara.
Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, menduga ada motif atau alasan lain terkait mundurnya Djoko Sasono, yaitu bukan hanya sekadar merasa gagal mengatasi kemacetan parah pada saat libur Natal lalu. Sebab, tanggung jawab mengurai kemacetan bukan hanya dipikul Kemenhub semata.
"Saya pikir pasti ada alasan yang sangat khusus Dirjen Hubdar sampai mengundurkan diri. Beliau itu orang yang sangat konsisten dan konsekuen dalam mengemban tugas-tugasnya," kata Shafruhan saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (27/12/2015).
Baca Juga
Dirinya menduga Djoko sampai mundur karena merasa tertekan dengan segala bentuk pelanggaran, termasuk Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut melanggar aturan tersebut dengan mengizinkan ojek online beroperasi di jalan raya. Sementara dalam payung hukum itu secara tegas mengatakan sepeda motor adalah angkutan orang dan barang tidak bisa digunakan sebagai angkutan umum yang memungut bayaran.
"Menurut saya mungkin beliau (Djoko) banyak melihat pelanggaran yang terjadi dan dibiarkan, bahkan didukung pejabat atau petinggi di negara ini terhadap UU Nomor 22 dan PP Nomor 74. Harusnya UU dan PP itu harus dijalankan dan ditegakkan, jadi kemungkinan demikian (tertekan). Wong, menterinya saja merevisi statement-nya," Shafruhan menegaskan.
Lebih jauh ia menilai masalah kemacetan di Indonesia, khususnya di kota-kota besar Tanah Air, sudah dalam kategori parah. Kompleksitasnya terletak pada berbagai macam persoalan yang tak pernah ada solusinya.
Shafruhan menjelaskan biang kerok kemacetan terjadi karena transportasi massal di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Masalah lain, disiplin atau budaya berlalu lintas masyarakat sangat rendah.
Aparat di Indonesia belum tegas menegakkan aturan lalu lintas, kontrol pemerintah terhadap pertumbuhan otomotif masih lemah, dan industri otomotif masih menjadi sumber utama pajak.
"Kemacetan sudah sangat parah sekali. Kerugian pengusaha akibat macet belum diitung rinci, tapi biasanya perjalanan bus dalam kota sehari minimal bisa 6 rit (PP 12 perjalanan), sekarang cuma dicapai 2,5 rit. Jadi kunci utamanya penegakkan hukum, penerapan UU dan PP harus jelas dan tegas," ia menjelaskan. (Fik/Ndw)**
Advertisement