RI Perlu Waspadai Aliran Dana Gelap Makin Besar

Berdasarkan data Global Financial Integrity, rata-rata aliran dana gelap mencapai US$ 18 miliar setiap tahun.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 20 Feb 2016, 13:42 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2016, 13:42 WIB
Ilustrasi uang
Ilustrasi uang

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai negara berkembang, tingkat kebutuhan modal asing bagi Indonesia sangatlah penting. Namun, dibalik tingginya arus modal tersebut dapat memicu meningkatnya aliran dana gelap di Indonesia.

Perkumpulan Prakarsa yang mengutip data Global Financial Integrity (GFI) mencatat sepanjang 2004 hingga 2013, Indonesia menempati urutan ke-9 dilihat dari aliran dana gelapnya.

Dalam kurun waktu itu, rata-rata aliran dana gelap mencapai US$ 18 miliar setiap tahun atau sekitar Rp 241 triliun (asumsi kurs Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat).

Jumlah ini memang lebih rendah jika dibandingkan dua negara Asean lainnya, yaitu Malaysia dan Thailand yang mencapai US$ 41,9 miliar dan US$ 19,2 miliar. Namun, pemerintah diimbau untuk lebih waspada.
‎

"Di Indonesia masih belum aware terhadap ini, padahal di dunia sudah konsen sekali mengenai ini," kata Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro di Jakarta, Sabtu (20/2/2016).

Ia menjelaskan, aliran dana gelap Indonesia terus membengkak sejak krisis 1998 hingga mencapai puncaknya pada 2007. Pada tahun itu, aliran dananya mencapai Rp 400 triliun. Angka itu setara dengan 10,5 persen nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat itu.

"Fakta ini mengindikasikan bahwa kinerja ekonomi dan perdagangan dunia berpengaruh terhadap aliran dana gelap Indonesia," ujar dia.

Selama kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap Indonesia mencapai Rp 914 triliun. Nilai ini sudah setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar luas (M2) dalam periode sama.

Kemudian jika dibandingkan dengan PDB nasional, jumlah itu telah mencapai 2,2 persen. Angka ini hampir menyamai defisit APBN di 2014, yang tercatat sebesar 2,26 persen dari nilai PDB.

"Ini dilakukan biasanya untuk menghindari bea masuk, pajak pertambahan nilai‎ atau pun pajak pendapatan, atau transfer dana korupsi ke bank luar negeri, serta pencucian uang dari perdagangan barang-barang terlarang," ujar Setyo.

Setyo menuturkan, postur aliran dana gelap didominasi oleh transaksi ilegal (trade misinvoicing). Transaksi ilegal sendiri berasal dari impor yang over invoicing maupun ekspor yang under invoicing.

Sejalan peningkatan perdagangan internasional Indonesia, maka Ia menjelaskan peluang aliran dana gelap semakin besar. Meningkatnya perdagangan internasional tersebut didorong oleh bertambahnya negara partner dagang Indonesia.

Pada 2002, Ia menambahkan, berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia hanya memiliki 119 negara partner dagang. Artinya, Indonesia memiliki transaksi perdagangan, baik impor atau ekspor dengan negara itu. Setahun berikutnya, rekanan dagang Indonesia kembali bertambah menjadi 131 negara. (Yas/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya