Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bersama DPR masih terus menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Dalam rapat terakhir di DPR, seluruh fraksi di Komisi XI menerima RUU tersebut dan sepakat untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat selanjutnya.
Anggota Komisi XI DPR Donny Imam Priambodo mengatakan, ada beberapa hal dalam RUU Pengampunan Pajak ini yang sebenarnya masih perlu dikaji lebih dalam. Salah satunya soal tarif uang tebusan yang harus dibayar ke kas negara.Â
"Tarif yang ditetapkan haruslah proporsional dan mengandung sifat fairness atau prinsip keadilan," ujar dia di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Menurut dia, akan sangat sulit untuk mencapai target penerimaan pajak jika tarif pengampunan pajak yang diterapkan terlalu rendah sebagaimana pada Pasal 3 draft RUU tentang Pengampunan pajak.
Tarif juga harus sepadan dengan fasilitas pengampunan pajak yang akan diterima wajib pajak sehingga akan timbul kesetaraan sesuai dengan demokrasi ekonomi yang kita anut.Â
Baca Juga
Baca Juga
"Fasilitas pengampunan pajak sebagaimana pada Pasal 14 dalam draft RUU ini perlu dikaji lebih dalam sehingga unsur keadilan (bagi wajib pajak dan negara) dapat terpenuhi," tutur dia.
Catatan lain yang perlu diperhatikan, kata Donny, adalah jika kebijakan tax amnesty ini diimplementasikan, harus diikuti dengan upaya penegakan hukum yang lebih tegas setelah berakhirnya masa pengampunan pajak.
Advertisement
Pemberitahuan oleh pemerintah kepada masyarakat bahwa setelah program pengampunan pajak dilaksanakan maka penegakan hukum terkait pajak akan mendorong Wajib Pajak untuk memanfaatkan pengampunan pajak seoptimal mungkin.
"Pengampunan pajak hendaknya dilaksanakan bersamaan dengan reformasi perpajakan (tax reform). Reformasi perpajakan yang dimaksud adalah perubahan perundang-undangan perpajakan dan perubahan struktural. Hal ini dapat mendukung sistem pemungutan pajak sehingga kebijakan pengampunan pajak dapat dirasakan efeknya secara lebih menyeluruh," kata dia.
Sebagai informasi, realisasi penerimaan pajak pada 2015 senilai Rp 1.055 triliun atau 81,5 persen dari yang ditargetkan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang tercatat Rp 1.294,25 triliun. Sedangkan pada 2016, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp1.360 triliun dari total penerimaan negara sebesar Rp1.822,5 triliun dalam APBN 2016.
Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) sebelumnya tak berkeberatan jika program pengampunan pajak (tax amnesty) diterapkan pemerintah. Ini asalkan inklusifitasnya berkeadilan dan cakupan tax amnesty diperluas sehingga bisa teratur membayar pajak.
Menurut pengusaha, jika eksklusif maka akan terjadi gelombang penolakan dan berpotensi menurunkan kepatuhan pembayar pajak lantaran dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu saja, misalnya bagi mereka yang masih memarkir dananya di luar negeri.
Sebab itu dikatakan jangan sampai, pengusaha yang jelas-jelas berkontribusi ke negara malah tak dapat menikmati fasilitas tax amnesty.
Hingga Februari 2016, penerimaan pajak baru mencapai 9 persen dari target Rp 1.360,1 triliun. Dengan capaian 9 persen, artinya penerimaan pajak dua bulan pertama tahun ini baru Rp 122,4 triliun, turun 5,4 persen dari periode yang sama 2015 yaitu Rp 130,8 triliun.Â
Pemerintah memperkirakan penerimaan pajak dalam APBN 2016 terancam shortfall kurang lebih Rp 200 triliun. Jika ditambah shortfall dari pajak migas dan PNBP, diperkirakan total shortfall tahun ini mencapai Rp 266,2 triliun dari target pendapatan negara dalam APBN 2016, yaitu Rp 1.822,5 triliun.(Dny/nrm)