Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan mengoptimalkan penyerapan gas dalam negeri untuk menurunkan harga gas pada konsumen ketimbang mendatangkan gas dari luar negeri.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, ‎sebelum mengeluarkan kebijakan impor, harus melihat kondisi ketersediaan gas dalam‎ negeri. Karena saat ini masih terdapat kelebihan pasokan gas dalam negeri.
"Untuk kebijakan impor kita lihat produksi dalam negeri juga. Jadi kita lihat keseluruhan suplai dan permintaan. Kalau di dalam negeri sudah over suplai, impor dipertimbangkan," kata Wiratmaja, di Jakarta, Selasa (11/10/2016).
Wiratmaja mengungkapkan, ada 17 kargo gas alam cair atau Liquified Natural Gas (LNG) yang belum terserap pada tahun ini. Sedangkan jumlahnya diperkirakan bertambah menjadi 30 kargo pada tahun depan.
Karena itu, untuk impor gas perlu pertimbangan matang dan penyerapan gas hasil perut bumi di Indonesia menjadi pilihan pertama untuk menurunkan harga gas.
Advertisement
Baca Juga
"Dipertimbangkan sebagai second choice. Tahun ini ada sekitar 17 kargo LNG. Tahun depan ada 30 kargo belum ada commmited," tutur Wiratmaja.
Wiratmaja menuturkan, harga gas dari mulut sumur di negara lain sebenarnya sama saja, dengan di Indonesia sekitar US$ 4,5 per MMBTU. Namun yang membedakan harga gas sampai konsumen adalah proses distribusinya.
"Ini harga-harga LNG landed di berbagai negara. Ini di AS harga gas di daratan. kalau dijadikan LNG tambah US$ 2. Ya US$ 4,5 juga. Di Indonesia US$ 4,5 juga. Kita jual harga gas tangguh ke PLN US$ 4,11 malah lebih murah," ‎ jelas Wiratmaja
Wiratmaja melanjutkan, untuk di Indonesia harga gas sampai konsumen bisa mencapai US$ 9 per MMBTU karena banyak proses sampai ke konsumen, sehingga meski impor gas harganya sama saja.
"Ini karena ada regas (perubahan gas jadi LNG), ada pipa dan sebagainya," tutur Wiratmaja. (Pew/Ahm)
Â