Liputan6.com, Jakarta Kalangan industri meminta pemerintah mengawasi peredaran rokok ilegal. Peredaran rokok ilegal menggerus industri rokok di dalam negeri.
Penerimaan cukai pada tahun 2016 menurun karena produksi rokok stagnan. Penyebab turunnya penerimaan cukai adalah penurunan produksi hasil tembakau dari 348 miliar batang di tahun 2015 menjadi 342 miliar batang di tahun 2016, atau turun sebesar 1,7 persen.
Baca Juga
Industri menilai, turunnya produksi rokok disebabkan oleh tergerusnya pasar oleh rokok ilegal. Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Muhaimin Moefti mengapresiasi usaha Bea Cukai untuk terus memerangi rokok ilegal.
Advertisement
“Sejalan dengan terus ditingkatkannya usaha pemberantasan rokok ilegal, kebijakan cukai yang berkesinambungan serta menjamin keberlangsungan industri juga penting,” kata Moefti di Jakarta, Jumat (6/1/2017).
Ia melanjutkan, sudah tiga tahun ini memang produksi rokok stagnan. Dia juga mengatakan, rokok ilegal mampu bersaing karena harganya murah.
“Saat harga rokok legal bisa mencapai Rp 18.000 per bungkus, rokok ilegal bisa dijual di kisaran Rp 8.000. Ini karena rokok ilegal tidak membayar cukai,” katanya.
Menurut Moefti, untuk membantu memperlambat pertumbuhan rokok ilegal, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kebijakan cukai yang diambil pemerintah. Kenaikan cukai drastis yang terlalu besar akan memicu maraknya perdagangan rokok ilegal.
Ia juga meminta pemerintah memperhatikan kenaikan cukai tak jauh dari inflasi yakni sebesar 6-7 persen. “Bila mencapai 10 persen ini menjadi beban buat industri,” lanjutnya.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, menurut penelitian UGM saat ini peredaran rokok ilegal mencapai 12 persen.
“Kondisi ini dipicu dari regulasi yang ada dan permintaan yang tinggi di pasar. Jangan sampai di tahun depan jumlahnya semakin meningkat,” paparnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah terutama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) harus mewaspadai terjadinya perembesan atau kebocoran penerimaan cukai dari penyelundupan rokok ilegal. Sehingga penting meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum terhadap peredaran rokok ilegal di Indonesia.
"Kita harus waspada, (penerimaan) cukai dari rokok legal merembes jadi ilegal. Di sinilah pentingnya penegakkan hukum untuk rokok ilegal, karena jangan sampai statistik penerimaan dari cukai rokok legal menurun, tekanan menaikkan cukai terus tinggi, tapi merembes jadi rokok ilegal. Ini yang harus diwaspadai," terang dia.
Sri Mulyani mencatatkan penerimaan bea dan cukai di APBN-P 2016 sementara sebesar Rp 178,7 triliun atau 97,2 persen dari patokan Rp 184 triliun. Kontribusinya berasal dari setoran cukai yang realisasinya Rp 143,5 triliun atau masih lebih rendah 96,9 persen dari target Rp 148,1 triliun.