Cara Pemerintah Dorong Infrastruktur Lewat Dana Non Anggaran

Tidak semua proyek infrastruktur dapat dibiayai melalui skema Financial Closing Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).

oleh Septian Deny diperbarui 20 Feb 2017, 09:45 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 09:45 WIB
Infrastruktur
Tidak semua proyek infrastruktur dapat dibiayai melalui skema Financial Closing Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas telah menyelenggarakan acara ekspos Financial Closing Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA) proyek Waskita Toll Road dan launching PPP Book 2017 di Istana Negara, pekan lalu.

Acara yang dihadiri dan disaksikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan jajaran Kabinet Kerja merupakan titik awal keberhasilan pembiayaan infrastruktur melalui skema PINA dengan menggalang sumber pembiayaan alternatif untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur strategis nasional.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, sumber pembiayaan PINA tidak berasal dari APBN melainkan dari sumber-sumber pendanaan seperti penanaman modal, dana kelolaan, perbankan, pasar modal, asuransi, lembaga pembiayaan, lembaga jasa keuangan lain, serta pembiayaan lain yang sah.

Dia menambahkan program PINA didesain untuk mengisi kekurangan pendanaan proyek-proyek infrastruktur prioritas yang membutuhkan modal besar, namun tetap dinilai baik secara komersial. Untuk dapat menjalankan proyek-proyek ini, BUMN dan swasta pengembang infrastruktur harus memiliki kecukupan modal minimum. Selama ini permodalan BUMN ditopang dan sangat tergantung kepada anggaran pemerintah melalui Penanaman Modal Negara (PMN).

“Ruang fiskal APBN saat ini semakin terbatas sehingga dibutuhkan sumber-sumber non-anggaran pemerintah dengan memanfaatkan dana kelolaan jangka panjang yang setengah menganggur seperti pada dana-dana pensiun dan asuransi baik dari dalam maupun luar negeri,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakart, Senin (20/2/2017).

Bambang menjelaskan pembiayaan infrastruktur dengan skema PINA sangat urgent dalam rangka mengoptimalkan peran BUMN dan swasta dalam pembiayaan pembangunan. BUMN dan swasta dapat berperan dalam pemenuhan 58,7 persen atau sebesar Rp 2.817 triliun pada RPJMN 2015-2019.

Pembiayaan infrastruktur melalui skema PINA juga sangat penting untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan pembangunan, misalnya dengan memobilisasi potensi dana-dana jangka panjang, mendorong recycle investasi pada proyek-proyek kategori brownfield, serta leverage kapasitas permodalan pembangunan dengan estafet instrument keuangan di setiap fase pembangunan.

“Urgensi lainnya adalah dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek prioritas,” kata Bambang.

Namun, lanjut dia, tidak semua proyek infrastruktur dapat dibiayai melalui skema PINA. Kementerian PPN/Bappenas telah menetapkan empat kriteria proyek yang dapat dibiaya melalui skema PINA yaitu proyek yang mendukung pencapaian target prioritas pembangunan, proyek yang memiliki kelayakan komersial, proyek yang memiliki manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat Indonesia, serta proyek yang telah memiliki kesiapan (readiness criteria).

Saat ini program PINA telah berhasil mendorong pembiayaan tahap awal 9 ruas jalan Tol senilai 70 triliun rupiah, di mana 5 diantaranya adalah Tol Trans Jawa. Pada pilot program PINA ini, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) dan PT Taspen (Persero) memberikan pembiayaan ekuitas tahap awal kepada PT Waskita Toll Road sebesar 3,5 triliun sehingga total ekuitas menjadi 9,5 triliun dari kebutuhan 16 triliun.

Program PINA akan mendorong agar kekurangan ekuitas tersebut dapat dipenuhi di tahun ini atau awal tahun depan dengan mangajak berbagai institusi pengelola dana yang ada. Dengan demikian, target agar Tol Trans Jawa terhubung per akhir 2018 dapat terwujud. Untuk mengakselerasi pembangunan nasional dan juga memberi daya ungkit perekonomian.

Pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui skema PINA melengkapi skema pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur. Meskipun KPBU melibatkan swasta, tetapi tetap masih ada unsur pemerintah karena pemerintah tetap berkomitmen untuk menyediakan layanan yang pro-rakyat dengan memegang kendali atas tarif.

Sejak adanya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur yang merupakan pengganti Perpres 67 tahun 2005 dan perubahannya, perkembangan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha atau KPBU sangat pesat. Hingga tahun 2016, proyek-proyek yang tadinya sempat terhenti pelaksanaannya seperti PLTU Batang dan Sarana Penyediaan Air Minum Umbulan dapat dilanjutkan.

Selain itu, proyek baru seperti Palapa Ring dapat dipercepat proses pelaksanaannya. Diluar ketiga proyek tersebut, masih ada 12 proyek KPBU yang sudah ditransaksikan, yang mencakup sektor jalan tol dan pengelolaan persampahan.

Dari total 12 proyek tersebut, 4 proyek sedang dalam tahap konstruksi dengan nilai investasi mencapai 29,95 triliun rupiah, 3 proyek pada tahap perjanjian kerjasama badan usaha dengan nilai investasi 27,35 triliun rupiah, dan 5 proyek yang sedang dalam proses pengadaan dengan nilai investasi 44,38 triliun rupiah.

Menurut Bambang, dengan pembiayaan infrastruktur melalui skema PINA dan KPBU, pemerintah akan terus berusaha mendorong partisipasi swasta dan lembaga pengelola keuangan untuk terlibat dan berkontribusi dalam upaya penyediaan infrastruktur.

“Semua pihak harus mendukung dan mendorong PINA dan KPBU sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur guna memacu percepatan penyediaan infrastruktur,” tandas dia. (Dny/Gdn)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya