DPR: Pemerintah RI Sudah Baik Hati ke Freeport

DPR menuturkan, pemerintah sedang cari solusi untuk Freeport Indonesia dan pemegang KK lain supaya operasional bisnis tetap lanjut.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Feb 2017, 18:30 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 18:30 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - DPR menilai pemerintah Indonesia selama ini sudah berbaik hati kepada PT Freeport Indonesia yang jelas-jelas melanggar Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009, terutama belum menuntaskan pembangunan smelter. Status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan solusi bagi Freeport supaya tetap memperoleh izin ekspor konsentrat.

Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu mengungkapkan, pemerintah mengamanatkan para pemegang Kontrak Karya (KK) untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter di dalam UU 4/2009. Batas waktunya lima tahun sejak UU terbit, atau 2014.

Namun kenyataannya, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS) tersebut belum merampungkan pembangunan smelter. Karena Freeport mengolah 40 persen dari total produksinya, sementara 60 persen belum dimurnikan di dalam negeri.

"Pemerintah baik hati memberi waktu lagi perpanjangan ke Freeport tiga tahun, hingga Januari 2017. Tapi faktanya tidak selesai juga," tegas Gus Irawan saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2/2017).

Sekarang ini, kata Gus Irawan, pemerintah mencari solusi untuk Freeport Indonesia dan pemegang KK lain supaya operasional bisnis tetap lanjut dan sektor pertambangan tidak mandek.

Kemudian terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Adapun poin-poin penting di dalam PP 1/2017 ini, di antaranya, perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51 persen secara bertahap.

Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan IUPK, paling cepat lima tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.

Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan minerba. Pemerintah mewajibkan pemegang KK mengubah izinnya menjadi rezim perizinan pertambangan khusus operasi produksi.

Penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu, serta pengaturan lebih lanjut terkait tata cara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

"Pemerintah cari solusi supaya sektor ini tidak mandek, terbitlah PP 1/2017. Itu kan semua harus dihormati. Masak ngancam-ngancam, kayak di pasar aja. Karena buktinya izin (rekomendasi) ekspor konsentrat sudah diberikan," jelas Gus Irawan.

Dia justru mengkhawatirkan nasib Freeport apabila pemerintah kali ini mengalah, lalu suatu saat kontrak karya Freeport Indonesia tidak lagi diperpanjang pada 2021.

"Harus ada iktikad baik dari Freeport, karena izin ekspor yang diberikan harusnya jalan, tidak ada pengurangan karyawan. Kalau mau main keras-kerasan, pemerintah misalnya ngalah sekarang, nanti di 2021 tidak diperpanjang. Tapi saya yakin pemerintah cukup bijak," ujar dia.

Diharapkan Bernegosiasi

Gus Irawan menyarankan, pemerintah dan Freeport Indonesia memanfaatkan waktu enam bulan untuk berunding atau negosiasi terkait perubahan status KK menjadi IUPK dan segala persyaratannya.

"Kalau tidak sepakat juga, penyelesaiannya bisa lewat Badan Arbitrase Internasional. Tapi posisi kita kuat, kan kita negara berdaulat. Karena kalau tetap KK, Freeport harus bangun smelter dan batas waktunya terakhir 2014," tutur dia.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sudah memberi tiga opsi kepada Freeport Indonesia dalam penyelesaian masalah perubahan status.

Pertama, kata dia, Freeport harus tunduk pada ketentuan yang ada apabila tetap memegang status KK, yakni membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) sesuai amanat Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Termasuk perundingan stabilitas investasi yang ada di dalam KK.

"Opsi kedua, mengubah status menjadi IUPK. Karena sudah jelas di Pasal 170 UU Minerba bahwa semua pemegang KK wajib membangun smelter sejak UU diberlakukan. Itu artinya jatuh tempo di 2014," jelasnya.

"Akhirnya yang boleh adalah IUPK. Pakai Pasal 102 dan 103, kalau IUPK wajib (bangun smelter), tapi tidak ada batas lima tahun. Kemudian mau perpanjang investasi kita buka, boleh dilakukan lima tahun sebelumnya, dan sudah diterbitkan izin rekomendasi ekspor," tambah Jonan.

Dalam Pasal 102, disebutkan pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

Sementara Pasal 103, mencakup (1), pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (2) pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.

 (3), ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Namun Freeport tetap menolak berganti status dari KK menjadi IUPK karena harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berubah-ubah dan melepas saham (divestasi) sebanyak 51 persen.

"Saya bilang itu alternatif pertama. Kalau tidak bisa menggunakan alternatif kedua, yakni UU Minerba diubah atau diamendemen. Tapi itu kan butuh waktu," tegas Jonan.

Sementara opsi ketiga, Jonan mempersilakan Freeport Indonesia untuk membawa masalah ini ke Badan Arbitrase Internasional. "Kalau tidak terima, ya silakan bawa ke Arbitrase," ujar Jonan.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya