Liputan6.com, Banyuwangi - Terminal baru berkonsep hijau pertama di Indonesia yang ada di Bandara Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi, sudah siap beroperasi. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meninjau terminal hijau tersebut pada Sabtu ini.
”Ini sudah siap beroperasi. Tinggal menunggu beberapa hal teknis saja. Terminal baru ini menjadi ikon wisata sekaligus memberi ruang yang cukup bagi penumpang, mengingat terminal lama sudah tidak mencukupi seiring lonjakan penumpang yang mencapai lebih dari 1.300 persen dalam lima tahun terakhir,” tutur Anas dalam keterangan tertulis, Sabtu (25/3/2017).
Terminal baru tersebut diharapkan bisa beroperasi sebelum Lebaran atau pada awal Juni 2017 berbarengan dengan realisasi rute penerbangan langsung Jakarta-Banyuwangi.
Advertisement
Anas mengatakan, konsep arsitektur ruang publik tidak boleh asal-asalan. Selama ini, karya arsitektur yang menerabas pakem relatif sulit diterapkan di bangunan yang didanai pemerintah, baik karena paradigma arsitektur yang masih konvensional maupun kendala administrasi.
Baca Juga
”Tapi di Banyuwangi, karya anti-mainstream justru kami beri ruang. Selain di bandara, ruang publik lain juga dibangun dengan arsitektur mendalam, mulai taman, kampus, pendopo, pasar, sampai destinasi wisata. Sehingga bangunan publik tidak hanya bermakna proyek, tapi juga bermanfaat bagi ekonomi masyarakat dan pengembangan sosial-budaya,” kata Anas.
Konsep yang diusung di terminal bandara diarahkan untuk setidaknya menggapai tiga tujuan. Pertama, menjadi ikon pendukung pengembangan pariwisata Banyuwangi. ”Arsitektur yang khas bisa menjadi landmark yang menarik perhatian wisatawan,” ucap Anas.
Kedua, sebagai bagian dari transfer pengetahuan dari arsitek nasional kepada arsitek setempat. Secara bertahap, diharapkan semua bangunan di Banyuwangi, seperti ruko dan rumah makan, juga memiliki konsep arsitektur yang jelas.
”Bangunan-bangunan dengan arsitektur khas bisa menjadi contoh bagi swasta dan masyarakat. Masyarakat bisa meniru konsepnya yang sederhana, namun tetap ikonik. Yang bagus tidak harus mahal,” ujar Anas.
Ketiga, secara fungsional dan daya guna, bangunan bisa terjaga keberlanjutannya dengan prinsip efisiensi. Terminal bandara ini menggunakan energi sehemat mungkin sesuai konsep rumah tropis yang mengutamakan penghawaan alami.
”Pengelolaan dan pemeliharaannya efisien, karena tak banyak menyedot energi, hampir tidak pakai pendingin ruangan. Plat beton atap juga lebih awet karena terlindung dari panas langsung dengan adanya tanaman,” kata Anas.
Terminal bandara tersebut, papar Anas, lebih menonjolkan desain pasif untuk menghemat energi dari pada menggunakan teknologi penghemat konsumsi energi. ”Desain interior dikonsep minim sekat untuk memperlancar sirkulasi udara dan sinar matahari. Juga ada kolam-kolam ikan untuk mengoreksi tekanan udara, sehingga suhu ruang tetap sejuk,” ucap Anas.
Dia menambahkan, terminal hijau ini makin ikonik karena mengadopsi konsep atap rumah Suku Osing yang merupakan masyarakat asli Banyuwangi yang juga menunjukkan ciri bangunan tropis.
”Kearifan lokal diadopsi untuk menumbuhkan cinta seni-budaya Banyuwangi. Budaya masyarakat yang selalu mengantar atau menjemput kerabatnya saat bepergian juga diadopsi dengan menyediakan anjungan luas. Jadi semuanya tidak akan terlantar di bandara,” kata Anas.
Salah satu hal yang cukup menjadi perhatian adalah soal pemeliharaan. Untuk mendapatkan pemeliharaan terbaik, Anas menginginkan perawatan dengan standar internasional. Penggunaan kayu sebagai ornamen dan banyaknya bagian yang terbuka harus dapat dirawat dengan baik. Demikian pula tanaman yang melingkari hampir setiap sudut dan atap terminal. (Dian/Gdn)