YLKI: Biaya Isi Ulang E-Money Berlawanan dengan Gerakan Nontunai

YLKI menilai biaya isi ulang E-Money atau uang elektronik seharusnya diambil dari keuntungan bank dan operator tol.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Sep 2017, 16:30 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2017, 16:30 WIB
Penerapan Transasksi e-toll di Seluruh Gerbang Tol Dibagi Dua Periode
Sejumlah pengendara mobil mengantre di gerbang tol Pejompongan, Jakarta, Jumat (15/9). Dalam menggunakan GTO ini, pengguna jalan tol diwajibkan memiliki kartu pembayaran non tunai sebagai kartu prabayar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi aturan Bank Indonesia (BI) mengenai skema harga yang salah satunya mengatur biaya isi ulang (top up) uang elektronik antar bank dan pihak ketiga paling mahal Rp 1.500. Biaya itu seharusnya dibebankan kepada perbankan, bukan konsumen.

Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menilai pengenaan biaya isi ulang uang elektronik hanya akan membebani atau disentif bagi konsumen. Aturan tersebut dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah dan BI dalam mendorong pembayaran tol menggunakan kartu alias nontunai 100 persen pada Oktober 2017.

"YLKI tetap tidak setuju terhadap peraturan BI yang baru karena memberikan beban ke konsumen. Harusnya diberikan insentif, sehingga aturan ini (biaya isi ulang) kontraproduktif dengan upaya pemerintah mendorong cashless society," tegas Tulus di kantornya, Jakarta, Jumat (22/9/2017).

Lebih jauh dia berpendapat, biaya infrastruktur untuk menggenjot penetrasi kartu elektronik, termasuk biaya isi ulang seharusnya dibebankan pada BI dan bank penerbit maupun pihak ketiga atau mitra. Sebab dengan semua serba nontunai, maka biaya pencetakan uang akan turun.

"Kalau ada biaya perawatan infrastruktur bisa dialokasikan dari BI atau bank lain. Serta biaya isi ulang bisa diambil dari keuntungan bank atau operator jalan tol. Ini ketika cashless, tol sangat terbantukan, jadi ambil keuntungan dari tol dong, bukan dibebankan ke konsumen," jelas dia.

Tulus mengatakan, seharusnya BI tidak mewajibkan bank mengambil biaya isi ulang uang elektronik yang tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (GPN).

"BI seharusnya tidak mewajibkan bank untuk mengambil biaya karena bank-bank BUMN sudah tegas mengatakan tidak memberikan biaya isi ulang dan pasti sudah dihitung keekonomiannya," ujar dia.

"Jadi BI tidak usah memaksa, biarkan kompetisi berjalan. Bagi bank yang ingin menerapkan biaya silakan, bagi bank yang ingin gratiskan, silakan. Nanti konsumen yang menentukan milih siapa," Tulus menerangkan.

Tulus mengaku akan berdiskusi dengan BI terkait aturan isi ulang uang elektronik. "Hari ini saya akan rapat dengan BI. Nanti kita akan kritisi bersama," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Aturan Isi Ulang Uang Elektronik Mulai 20 Oktober

Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan peraturan Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (GPN) pada 20 September 2017, yang salah satunya mengatur biaya isi ulang uang elektronik antarbank dan pihak ketiga sebesar Rp 1.500. Skema harga ini mulai efektif berlaku 20 Oktober 2017.

GPN tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017. PADG GPN merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.19/8/PBI/2017 tentang GPN.

Beberapa hal yang diatur dalam aturan tersebut, antara lain mengenai prosedur penetapan kelembagaan GPN, mekanisme kerja sama, branding nasional, dan skema harga.

Dalam kebijakan skema harga, BI ingin memastikan berjalannya interkoneksi dan interoperabilitas dalam ekosistem GPN, sebagai berikut:

a. Skema harga kartu debit, dengan tarif yang dikenakan kepada pedagang oleh bank (Merchant Discount Rate – MDR) sebesar 1 persen, dengan pemberian MDR khusus untuk transaksi tertentu, termasuk MDR 0 persen untuk transaksi terkait pemerintah.

b. Skema harga uang elektronik untuk transaksi pembelian dengan rincian sebagai berikut:

1) Terminal Usage Fee (biaya yang diberikan penerbit kartu kepada penyedia infrastruktur atas penggunaan terminal): 0,35 persen

2) Sharing infrastruktur (biaya investasi sebagai pengganti atas biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan): sesuai dengan kesepakatan antar penerbit

3) Merchant Discount Rate (tarif yang dikenakan kepada pedagang oleh bank) akan ditetapkan tersendiri oleh BI

c. Kemudian, BI juga mengatur skema harga uang elektronik untuk transaksi isi ulang atau top up. Berikut rinciannya:

1) Top Up On Us, yaitu pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu, untuk nilai sampai dengan Rp 200 ribu, tidak dikenakan biaya. Sementara untuk nilai di atas Rp 200 ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp 750

2) Top Up Off Us, yaitu pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra/pihak ketiga, dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp 1.500.

"Kebijakan skema harga ini mulai berlaku efektif 1 bulan setelah PADG GPN diterbitkan, kecuali untuk biaya Top Up On Us yang akan diberlakukan setelah penyempurnaan ketentuan uang elektronik," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman.

Itu artinya, biaya isi ulang uang elektronik dari bank yang berbeda maupun pihak ketiga, seperti minimarket maksimal sebesar Rp 1.500 atau Top Up Off Us mulai berlaku efektif per 20 Oktober 2017.

Agusman mengungkapkan, BI menetapkan batas atas biaya isi ulang uang elektronik sebesar Rp 1.500 guna melindungi konsumen. Sebab pada praktiknya, ada bank dan pihak ketiga yang memungut biaya transaksi isi ulang hingga Rp 6.500.

"Praktiknya selama ini biayanya bisa sampai Rp 6.500. Ini yang kami rapikan agar konsumen lebih terlindungi. Jadi dengan biaya maksimal Rp 1.500, kalau mitra berkenan tanpa bayar (gratis) juga boleh, karena yang diatur batas atasnya," pungkasnya kepada Liputan6.com.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya