YLKI: Konsumen Harusnya Dapat Insentif dari Isi Ulang E-Money

YLKI menilai bila ada pengenaan biaya isi ulang untuk uang elektronik bertentangan dengan upaya wujudkan cashless society.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 17 Sep 2017, 21:05 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2017, 21:05 WIB
20160909-118 BUMN dan BUMD Ikuti Pameran BUMN di JCC-Jakarta
Pengunjung mencoba mesin top up Mandiri e-money di gerai Bank Mandiri pada event IBD Expo 2016 di Jakarta, Kamis (8/9). Hingga Juli 2016, terdapat 7,9 juta kartu berlogo Mandiri E-Money yang telah diterbitkan. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung ada transaksi nontunai. Hal itu untuk mewujudkan efisiensi pelayanan dan keamanan transaksi. Itu juga sejalan dengan fenomena ekonomi digital saat ini.

Namun, hal itu akan kontra produktif jika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan terkait pengenaan biaya top up pada uang elektronik. Menurut YLKI itu akan bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menerangkan, dengan cashless society sektor perbankan lebih diuntungkan dari pada konsumen. Lantaran perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.

"Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif," ujar dia, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (17/9/2017).

Tulus menuturkan, pengenaan biaya top up hanya bisa ditoleransi jika konsumen menggunakan bank berbeda dengan e-money yang digunakan."Selebihnya no way, harus ditolak," ujar dia.

Dia menuturkan, perbankan tidak pantas mengandalkan pendapatan dari top up ini. Dia bilang, seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputarnya dari sistem pinjam-meminjam.

"YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut," ungkap dia.

Mantan Country Director TrueMoney Joedi Wisoeda menilai, rencana adanya biaya isi ulang untuk uang elektronik dapat menghambat cashless society. BI seharusnya makin mempermudah dan mendukung percepatan cashless society dengan melalui tahap less cash society.

Ia menuturkan, saat ini pengguna e-money hampir 90 persen dari golongan bankable atau punya akses ke perbankan. Bila dikenakan biaya isi ulang untuk uang elektronik, menurut Joedi dapat membuat uang elektronik menjadi kurang menarik bagi masyarakat yang ubankable.

"Ini pun jauh juga dari rencana awal dibuatnya e-money yang dibuat untuk menyasar teman-teman yang unbankable. Jadi sebetulnya jika BI membuat tujuannya untuk menekan angka pencucian uang atau apapun rasanya kurang tepat. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh," ujar Joedi saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menuturkan, saat ini uang elektronik sudah menemukan polanya usai banyaknya pemain yang aktif bermain di sana. Pola tersebut bagaimana cara berbisnis uang elektronik, misalkan apa saja fitur dan target pasar uang elektronik tersebut. "Kalau dikenakan biaya seperti ini akan melambat lagi (uang elektronik)," kata dia.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman tak banyak berkomentar terkait aturan ini. Dia meminta supaya menunggu aturan itu keluar terlebih dahulu.

"Kita tunggu saja ketentuannya keluar dulu ya. Kalau ketentuannya sudah ada tentu lebih mudah menjelaskannya," kata dia kepada Liputan6.com.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

BI Rilis Aturan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Akhir September

Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan aturan mengenai pemungutan biaya isi ulang (top up) untuk uang elektronik atau e-money. BI berharap masyarakat memahami bahwa adanya biaya tersebut demi memaksimalkan sarana dan prasarana.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur pemungutan biaya isi saldo uang elektronik perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017.

"Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus, Jumat 15 September 2017.

Agus mengatakan regulasi isi saldo tersebut akan berupa Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG). Ia belum mengungkapkan aturan besaran maksimum biaya isi saldo uang elektronik karena masih dalam finalisasi.

Agus menjelaskan, BI akhirnya memperbolehkan perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik karena mempertimbangkan kebutuhan perbankan akan biaya investasi dalam membangun infrastruktur penyediaan uang elektronik, layanan teknologi, dan juga pemeliharaannya.

Mengingat pada 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik, maka perbankan juga harus menyediakan loket dan tenaga Sumber Daya Mineral (SDM) di area sekitar jalan tol agar kebutuhan masyarakat untuk membayar jasa jalan tol terpenuhi.

"Kita harus yakinkan bahwa saat masyarakat beli uang elektronik untuk jalan tol, itu harus tersedia secara luas. Oleh karena itu BI mengizinkan untuk ada tambahan biaya," ujarnya.

Selain loket penjualan uang elektronik, kata Agus, perbankan juga harus menyiapkan sarana prasarana untuk melayani isi saldo uang elektronik. "Kami juga berharap masyarakat memahami kalau tidak ada biaya top up nanti akan terbatas itu kesediaan sarananya," ujar dia.

Sejak wacana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik ini mengemuka, kalangan pelaku usaha jasa sistem pembayaran mengusulkan pengenaan biaya di kisaran Rp1.500 sampai Rp2.000 setiap kali isi ulang.

Sebagai gambaran, jumlah uang elektronik di Indonesia beredar per Juli 2017 mencapai 69,45 juta atau naik 35 persen dibandingkan periode akhir 2016 yang tercatat 51,2 juta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya