Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menargetkan pengoperasian mobil listrik secara massal dapat berjalan tahun depan di kota-kota besar, khususnya di Jakarta sesuai perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Advertisement
Untuk mewujudkannya, perlu dukungan insentif dari Kementerian/Lembaga terkait, termasuk peran serta akademisi dalam pengembangan mobil listrik.
Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Teknologi dan Energi Kemenhub, Prasetyo Boeditjahjono mengungkapkan, Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Penerapan Mobil Listrik sudah selesai. Selanjutnya saat ini, tinggal menunggu tandatangan Presiden.
"Rancangan Perpres sudah jadi, tinggal diteken. Beberapa kementerian juga harus memberikan kebijakan khusus, seperti Kementerian Keuangan untuk pajaknya (PPnBM nol persen), Kementerian ESDM, Kementerian Ristekdikti, BPPT, serta akademisi dalam produksi, pengembangan, dan melaksanakan kebijakan ini," kata dia di Gandaria City, Jakarta, Minggu (29/10/2017).
Prasetyo menuturkan, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sudah lebih dulu mengembangkan kendaraan listrik. Semuanya ada dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, terkait insentif.
Sebagai contoh di Amerika Serikat (AS), penyelenggaraan kendaraan listrik didukung dengan pemberian insentif pajak federal sebesar US$ 7.500 per kendaraan. Kemudian di Denmark, ada pembebasan pajak registrasi dan pajak sirkulasi tahunan, serta pembebasan biaya parkir.
Di Norwegia misalnya, ada insentif bagi pembangunan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) 10 ribu NOK per parkir, bebas uang parkir di pusat kota dan uang tol, 400 stasiun menyediakan listrik dan parkir gratis, dan penerapan pajak emisi.
Untuk mobil listrik, Prasetyo mengakui, dapat beroperasi pada tahun depan, khususnya di wilayah Jakarta. Sementara untuk motor listrik, diharapkannya bisa mengaspal secara massal di akhir tahun ini.
"Tahun depan diharapkan bisa jalan (mobil listrik). Itu sesuai perintah Presiden. Mudah-mudahan di akhir tahun anggaran tahun ini, mulai ada kendaraan motor listrik di Indonesia, khususnya di Jakarta," jelas dia.
Prasetyo mengatakan, kehadiran mobil listrik di Indonesia merupakan suatu keniscayaan karena sesuai dengan Nawa Cita Presiden dan Peraturan Presiden tentang rencana energi nasional, di samping mengurangi pencemaran udara akibat emisi gas buang dari Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga bisa mencapai zero emisi.
"Dari Kemenhub, transportasi apa pun termasuk mobil atau motor listrik harus mengutamakan keselamatan. Jadi kita akan uji karena ini barang baru, serta uji berkala seperti mobil atau motor pada umumnya," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
RI Perlu Produksi Mobil Listrik
Sebelumnya, Pemerintah tengah berupaya menggenjot pengembangan mobil maupun motor listrik di Indonesia. Negara ini harus segera memproduksi kendaraan listrik untuk mengatasi masalah polusi dan pemborosan yang terjadi akibat penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan nilai mencapai Rp 150 triliun per tahun.
Tim Mobil Listrik Nasional Universitas Indonesia (UI), Ing Mohamad Adhitya mengungkapkan, penggunaan kendaraan, baik motor maupun mobil listrik sudah menjadi tren di dunia saat ini. Ada dua alasan yang mendasari sejumlah negara beramai-ramai ke kendaraan listrik.
"Pertama, pemanasan global yang terjadi akibat emisi gas buang dan kedua, kelangkaan sumber daya alam, seperti minyak bumi. Kita menghadapi krisis karena harga minyak pernah sangat mahal. Industri otomotif dunia mengatasi permasalahan tersebut dengan mobil listrik," kata dia dalam diskusi Mobil Listrik di Gandaria City, Jakarta, Minggu 29 Oktober 2017.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Teknologi dan Energi, Prasetyo Boeditjahjono menilai, dalam Nawa Cita, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin menciptakan kedaulatan energi. Salah satunya memanfaatkan energi listrik untuk transportasi.
"Tidak ada pilihan lain, kecuali segera beralih ke energi listrik. Pencemaran udara sudah berat. Lihat saja macet di mana-mana, racun semua itu karena dari hasil emisi gas buang bahan bakar fosil," ujar Prasetyo.
Lebih jauh dia menjelaskan, pencemaran udara menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama di perkotaan dengan kepadatan kendaraan bermotor yang tinggi.
Alasan lain, lanjutnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan seperdelapan kematian umat di seluruh dunia atau sekitar 8 juta jiwa per tahun pada 2014. Hal ini diakibatkan karena terpapar pencemaran udara. Sebanyak 68 ribu jiwa meninggal di Indonesia.
Datanya menyebut, 57,8 persen warga di Jakarta menderita sakit atau penyakit akibat terpapar pencemaran udara sehingga harus membayar biaya pengobatan mencapai Rp 38,5 triliun.
"Kebijakan kita penerapan standar emisi Euro 4 yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi dengan benefit Rp 3,97 triliun di 2030. Regulasi lainnya adalah kendaraan listrik," tutur Prasetyo.
Advertisement