Pengusaha Keberatan UMP Naik 8,71 Persen

Pengusaha menyatakan keberatan terhadap kenaikan upah minumum provinsi (UMP) 2018 sebesar 8,71 persen

oleh Septian Deny diperbarui 31 Okt 2017, 14:56 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2017, 14:56 WIB
banner peta ump 2017
Besaran Kenaikan UMP 2017 yang Berbeda (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menyatakan keberatan terhadap kenaikan upah minumum provinsi (UMP) 2018 sebesar 8,71 persen. Kenaikan upah ini seharusnya ditentukan secara bipartit antara pengusaha dan pekerja.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan, kenaikan UMP sebesar 8,71 persen dinilai terlalu besar. Terlebih saat ini kondisi dunia usaha tengah lesu, seperti yang terjadi pada bisnis ritel.

‎"Kita tidak ada pilihan lain saat ini, kita harus menerima 8,71 persen itu. Beberapa industri berat mungkin, ritel, padat karya itu berat. Untuk beberapa sektor memang kita harus memikirkan ke depan setiap sektor, tak bisa digeneralisir," ujar dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (31/10/2017).

Menurut dia, besaran kenaikan UMP ini seharusnya hanya berdasarkan tingkat inflasi saja. Hal ini berbeda dengan formula kenaikan UMP dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menggunakan dua indikator, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

"‎Upah minimum harusnya naiknya hanya berdasarkan inflasi saja, selebihnya harusnya misalnya inflasi 3 koma sekian persen, ya sudah pemerintah menetapkan itu saja selebihnya per sektor. Jadi naiknya ya sudah 3 persen, tapi sektornya terpuruk malah ada yang rekomendasinya minus 1 persen. Itu upahnya bisa turun," jelas dia.

Selain itu, kata Harijanto, pemerintah harusnya memberikan ruang yang lebih besar kepada perundingan bipartit dalam penetapan kenaikan upah per tahunnya. Dengan demikian, tidak ada lagi aksi penolakan dari pekerja soal kenaikan upah minimum ini.

"Jadi kebijakannya tergantung dari kedua belah pihak pemberi kerja dan pencari kerja. Pemerintah harus merelakan ini, melatih ini. Kalau tidak, sampai kapan pun kita akan terus ribut, negara energinya habis untuk mikirin upah. Wong yang ribut itu harusnya pemberi kerja, yang membayar upah. Kalau sekarang kok politisi yang memutuskan upahnya berapa. Lah yang bayar siapa? Akhirnya yang bayar pada malas kan. Kalau malas yang rugi siapa? pencari kerja," tandas dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya