KEIN: Bangun Pembangkit Nuklir Thorium di RI Tunggu Restu Jokowi

KEIN menargetkan pembangunan PLTN non uranium di Indonesia dapat disetujui Presiden Jokowi tahun depan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 18 Des 2017, 08:00 WIB
Diterbitkan 18 Des 2017, 08:00 WIB
Ilustrasi fasilitas nuklir
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) non uranium di Indonesia dapat disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun depan. Hal ini menyusul studi banding yang sudah dilakukan KEIN ke Amerika Serikat (AS) untuk pengembangan listrik berbahan baku thorium atau nuklir hijau.

Ketua KEIN, Soetrisno Bachir mengungkapkan, arah kebijakan energi masa depan yang tengah disusun KEIN atas perintah Presiden Jokowi. Dia mengatakan, Jokowi pernah menyampaikan kepada direksi PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) agar mengembangkan energi nuklir berbasis thorium yang jumlahnya banyak di Indonesia.

"KEIN melalui Pokja Energi menggelar FGD dengan stakeholder Kementerian/Lembaga, Dewan Energi Nasional, termasuk mengundang PLN, dan lainnya," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (18/12/2017).

Upaya lainnya, kata Soetrisno, melakukan studi banding ke AS yang sedang mengembangkan PLTN berbahan baku thorium. Teknologi nuklir ini tengah digarap perusahaan AS dengan bantuan dari Yayasan Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia.

"Perusahaan yang dibantu Bill Gates ini sekarang sudah melakukan kerja sama dengan China yang akan mengoperasikan nuklir thorium pada 2022. Jadi China akan menjadi yang pertama mengoperasikan PLTN thorium," dia menjelaskan.

Soetrisno berharap, restu membangun atau mengembangkan PLTN berbasis nuklir hijau atau thorium ini dapat direstui Jokowi pada 2018. Setelah disetujui, butuh waktu tahunan untuk mempersiapkan segalanya, termasuk sosialisasi ke masyarakat tentang PLTN thorium.

"Kita harapkan di 2018 bisa disetujui Presiden supaya kita tidak terlambat. Tapi kan butuh waktu, karena proses di China saja sampai 6 tahun untuk siap operasi di 2022. Mudah-mudahan kita bisa lebih cepat," terangnya.

Nuklir Hijau yang Aman

PLTN
Ilusrasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. (Foto: batan.go.id)

Soetrisno lebih jauh menuturkan, pemerintah harus mensosialisasikan bahwa nuklir berbahan baku thorium atau non uranium ini tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.

"Kita harus sosialisasi bahwa nuklir thorium tidak berbahaya seperti uranium. Jangan sampai sudah disetujui, pas waktu mau pembangunan malah didemo, padahal ini tidak berbahaya," paparnya.

Data Kementerian Perindustrian menyebut, stok thorium di Bangka Belitung diperkirakan mencapai 170 ribu ton. Dengan perhitungan 1 ton thorium mampu memproduksi 1.000 megawatt (MW) per tahun, maka jumlah bahan baku tersebut cukup untuk mengoperasikan 170 unit pembangkit listrik selama 1.000 tahun. 

Sementara dari sisi total biaya produksi termasuk operasional, pembangkit listrik dari thorium juga lebih murah karena hanya membutuhkan US$ 3 sen per kwh. Sedangkan jika menggunakan batu bara membutuhkan US$ 5,6 sen per kWh, gas US$ 4,8 sen per kWh, tenaga angin US$ 18,4 sen per kWh, dan panas matahari US$ 23,5 sen per kWh.

"Dengan gunakan thorium, kebersihan lingkungan terjaga, dayanya bisa besar, dan lebih murah dibanding di China nantinya. Jadi kita mempersiapkan diri untuk itu," tegas Soetrisno.

Jika direstui Jokowi dengan Keputusan Presiden (Keppres), maka rencana pembangunan PLTN thorium ini harus masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) dan Kementerian ESDM.

"Katakanlah disetujui dengan Keppres di 2018, maka investor asing maupun domestik bisa membangun PLTN thorium. Skemanya bisa pakai Independent Power Producer (IPP), tapi tetap menunggu teknologi yang sudah proven (terbukti jalan), yakni China di 2022," tutup Soetrisno.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya