Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Patijaya mengapresiasi proposal pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia yang diajukan oleh tiga negara, yakni Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China. Proposal tersebut masih dalam tahap kajian pemerintah. Presiden Prabowo sendiri menargetkan Indonesia bisa segera membangun PLTN.
"Indonesia sedang membangun energinya dalam sektor energi baru dan terbarukan (EBT) dan nuklir merupakan salah satu pilihan yang termasuk dalam EBT," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025.
Advertisement
Merespon itu, menurut Bambang Indonesia harus mengambil langkah-langkah untuk merealisasikan PLTN. Pertama , kita harus mempersiapkan kelembagaan seperti Instrumen Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) atau Organisasi Pelaksana Program Energi Nuklir. NEPIO juga perlu mitra yang mampu memberikan pertimbangan dan masukan dalam pemilihan teknologi nuklir, dalam practice di dunia nuklir peran itu dinamakan Technical Support Organization (TSO). Sebagai info, Kementerian ESDM sebenarnya sudah merancang draf dari NEPIO ini," ujar dia, dikutip Rabu (12/3/2025).
Advertisement
Kedua, pemerintah juga harus mensosialisasikan dengan baik program itu sehingga masyarakat teredukasi dan percaya keamanan nuklir ini. "Meyakinkan keamanan nuklir saat ini , sama seperti ketika kita meyakinkan keamanan naik pesawat 50 tahun yang lalu. Seiring berjalan waktu dengan pengembangan tehnologi dan standar keamanan, masyarakat bisa merasa aman tehadap nuklir seperti ketika naik pesawat saat ini, ujarnya.
Indonesia, Bambang berpendapat, sudah relatif maju dalam regulasi dengan adanya UU kenukliran sejak tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Dalam UU itu disebutkan bahwa Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai lembaga yang menjalankan dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sebagai pengawas.
"Problemnya sekarang, ketika BATAN dilebur ke BRIN, fungsi itu gagal dijalankan oleh BRIN ketika itu dulu masih di BATAN," tutur dia.
Kemampuan Bangun Reaktor Nuklir
"Soal keahlian, Indonesia pada dasarnya siap: kemampuan perekayasa Indonesia untuk membangun dan mengelola reaktor nuklir tidak diragukan, meski kita harus terus mengembangkan SDM di bidang kenukliran," ujarnya.
"Namun yang utama adalah kita butuh kepercayaan publik dan ini terkait dengan kemampuan kita mensosialisasikan nuklir itu sendiri hingga bagaimana mitigasi potensi problem nuklir yang selama ini jadi isu utama keraguan publik," ungkapnya.
Bambang menjelaskan, Kementerian ESDM sudah melakukan survei beberapa tapak seperti di Bangka Belitung yang merupakan peninggalan dari yang sebelumnya dikerjakan BATAN. Perlu juga dipertimbangkan aspek PLTN dalam sistem kelistrikan.
"Biaya investasi yang mahal dan karakternya yang base-load (dapat mengahasilkan listrik secara terus menerus tanpa bergantung cuaca) secara keekonomian akan lebih fisible pada demand yang tinggi," ujarnya.
Berdasarkan aspek keamanan, Bambang menekankan, PLTN generasi ketiga sudah lebih mengedepankan safety. "Begitu juga PLTN generasi keempat, mempunyai teknologi lebih canggih lagi," ujarnya.
Advertisement
Banyak Negara Minat Kembangkan Pembangkit Listrik Nuklir di Indonesia, Ini Buktinya
Sebelumnya, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani, mengungkapkan bahwa saat ini banyak negara yang tertarik melakukan investasi pengembangan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
"Yang mungkin saat ini lagi hot itu adalah nuklir, ini berbagai negara datang ke saya, ke kami, ya. ada banyak, sekarang sudah menawarkan pra-FS, sekarang sudah menawarkan pra-FS dari beberapa negara," kata Eniya dalam acara Dialog Stakeholder EBTKE Tahun 2024 di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Kendati banyak minat investasi PLTN di Indonesia, Eniya menegaskan bahwa Kementerian ESDM lebih berhati-hati dalam menerima berbagai tawaran investasi tersebut.
Lantaran, sebelumnya Kementerian ESDM telah menyatakan kepada International Atomic Energy Agency (IAEA) pada September 2024 lalu, bahwa Indonesia akan menggunakan nuklir pada jaringan listrik di sektor energi untuk menghasilkan listrik.
"Ini saya moving-nya hati-hati, nih hati-hati. Karena basically pada saat kita ngomong ke IAEA bulan September, itu kita sampaikan ke IAEA di Vienna bahwa Indonesia will use the nuklir on the grid in the energy sector to create the electricity. Nah, itu baru pertama kita sounding, karena selama ini nuklir digunakan di kesehatan sama pangan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Perusahaan listrik negara (PLN) telah melakukan langkah signifikan dengan menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Jepang untuk pengembangan Small Modular Reactor (SMR).
Teknologi SMR ini dianggap lebih aman, efisien, dan fleksibel dibandingkan dengan reaktor nuklir besar. Proses ini masih dalam tahap studi kelayakan (feasibility study), dan hasil dari studi tersebut akan menjadi dasar untuk melangkah ke tahap implementasi.
DEN: Nuklir Jadi Pilihan Energi Bersih pada 2032
Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) berharap revisi Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional atau KEN, yang antara lain mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN diterbitkan pada tahun depan. Aturan ini sudah disetujui secara prinsip oleh pemerintah dan DPR periode sebelumnya.
"Kami mulai mengarah ke nuklir. Mudah-mudahan ada rancangan baru pada 2025 dalam bentuk PP yang disepakati pemerintah dan DPR, sehingga nuklir pada 2032 sudah bisa menjadi pilihan energi bersih," ujar Anggota DEN Eri Purnomohadi dalam Katadata Policy Dialogue: Arah Baru Sektor Energi dan Perumahan di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Ia menjelaskan, dalam aturan PP KEN yang belum direvisi, energi nuklir adalah pilihan terakhir. Ini karena pada penyusunan aturan tersebut, menurut dia, DEN melihat bahwa nuklir menjadi isu sensitif dan muncul banyak penolakan, terutama di Pulau Jawa.
Namun, menurut dia, pembangunan PLTN kini menjadi tuntutan untuk mencapai net-zero emissions dan komitmen terhadap perubahan iklim global.
"Kita harus bergerak dari energi fosil menuju energi bersih. Namun, transisi ini tidak bisa langsung lompat, perlu ada periode transisi yang melibatkan gas sebagai energi peralihan," kata dia.
Menurut dia, energi hijau seperti matahari dan angin memang ada, tetapi tidak bisa menjadi pembangkit listrik beban dasar karena sifatnya yang intermiten atau tidak dapat diprediksi. Kata dia, pembangkit listrik beban dasar masih membutuhkan energi lain, seperti geothermal atau nuklir.
Advertisement
