Pajak Dosa Selamatkan BPJS Kesehatan dari Tekor?

Pajak dosa adalah pajak yang dikenakan pada barang-barang yang tidak dikehendaki atau berdampak merusak kesehatan masyarakat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Jan 2018, 09:40 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2018, 09:40 WIB
20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan mengeksekusi dua langkah yang akan menjadi sumber pendanaan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menutup lubang defisit yang diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. Dana tersebut berasal dari pajak dosa (sin tax) cukai dan pajak rokok.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritik langkah pemerintah untuk menanggulangi tekor BPJS Kesehatan menggunakan Dana Bagi Hasil (DBH) cukai rokok maupun pajak rokok.

"Tidak tepat jika dana cukai rokok digunakan untuk menutup defisit BPJS. Seolah-olah penyebab penyakit yang membebani BPJS semua berasal dari perokok, ini salah kaprah. Kesannya pemerintah mau gampangnya saja," tegas dia di Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Bhima menyarankan kepada pemerintah jika ingin mengejar pajak dosa, jangan hanya menggunakan cukai rokok saja. Dia melihat ada potensi pajak dosa lain sebagai objek cukai baru, yakni asap kendaraan bermotor dan minuman berpemanis.

"Hasil hitungan kami, total penerimaan cukai kendaraan bermotor mobil dan motor mencapai Rp 5 triliun di 2016. Begitupun dengan minuman berpemanis potensinya cukup besar," saran Bhima.

Pajak dosa adalah pajak yang dikenakan pada barang-barang yang tidak dikehendaki atau berdampak merusak kesehatan masyarakat, seperti alkohol atau tembakau.

Menanggapi pernyataan Bhima, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Boediarso Teguh Widodo mengatakan pengaturan mengenai pengenaan pajak rokok sebagai pajak dosa atau sin tax, serta penggunaan penerimaan negara atau daerah atas cukai rokok merupakan dua hal yang berbeda.

Dia lebih jauh menjelaskan, pengenaan pungutan cukai atas hasil tembakau atau rokok sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai bertujuan untuk pengendalian atau pembatasan produksi dan konsumsi rokok, sehingga akan mengurangi dampak negatif merokok.

"Penggunaan atas penerimaan cukai rokok, seperti halnya penerimaan APBN lainnya sebagai sumber penerimaan umum, dapat digunakan pemerintah untuk banyak hal. Tidak harus terkait dan tidak terbatas dengan subyek cukai itu sendiri," terang Boediarso kepada Liputan6.com.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Sifat Cukai Adalah Pengendalian

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Begitupun dengan penggunaan DBH cukai rokok ataupun pajak rokok. Menurut Boediarso, sekalipun ada pengaturan mengenai earmarking bagi pajak rokok untuk mendukung pelayanan kesehatan masyarakat, akan tetapi tetap ada diskresi atau kebebasan dan keleluasaan bagi daerah untuk menggunakannya dalam persentase tertentu sesuai kebutuhan dan prioritas daerah.

"Berdasarkan perbedaan kedua tujuan tersebut, maka tidak dapat serta merta dikatakan bahwa penggunaan cukai atau pajak rokok adalah hanya untuk bidang kesehatan saja guna mengatasi penyakit akibat rokok," Boediarso menerangkan.

Pada prinsipnya, sambungnya, pungutan atas konsumsi rokok, baik berupa cukai hasil tembakau maupun pajak rokok dimaksudkan untuk pengendalian, karena konsumsi rokok dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat.

"Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, penggunaan penerimaan cukai hasil tembakau dan pajak rokok diarahkan sebagian untuk pelayanan kesehatan, baik pelayanan preventif, promotif maupun kuratif," ujarnya.

Dia bilang, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memberikan layanan kuratif kepada semua peserta jaminan kesehatan, perlu didukung oleh pemerintah daerah melalui penerimaan APBD yang bersumber, baik dari DBH cukai hasil tembakau dan pajak rokok, maupun dari sumber APBD lainnya.

"Dukungan pendanaan dari transfer ke daerah, baik dalam bentuk DBH cukai rokok ataupun pajak rokok hanyalah sebagian dari langkah-langkah pengamanan pembiayaan program kesehatan masyakat yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan nasional," terang Boediarso.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya