Saat Bikin Kebijakan, KKP Seharusnya Libatkan Nelayan

Mulai 1 Januari 2018, tidak ada lagi tawar-menawar soal larangan penggunaan cantrang untuk menangkap ikan.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 16 Jan 2018, 15:31 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2018, 15:31 WIB
Badai Dahlia
Badai Cempaka dan sikon tropis Dahlia membuat para nelayan di pantai selatan Garut, Jawa Barat, menambatkan perahunya. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta untuk bisa melibatkan segala golongan nelayan dalam menentukan kebijakan. Dengan demikian, kebijakan tersebut bisa diimplementasikan di lapangan dengan mulus.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Rasmijan mencontohkan, salah satu kebijakan yang tak melibatkan para nelayan adalah pelarangan penggunaan cantrang.

"Tolong KKP itu diskusikan dulu dengan pelaku, dalam hal ini kita-kita ini sebagai nelayan, kita cari solusinya. Jangan langsung diterapkan, akibatnya banyak sekarang kapal yang mangkrak, tidak melahut, nelayan menganggur," ucap dia kepada Liputan6.com, Selasa (16/1/2018).

KKP sebenarnya sudah memberikan bantuan alat tangkap gillnet kepada sejumlah nelayan. Bagi nelayan, alat tangkap tersebut tidak bisa digunakan. Bagi yang mendapat, harus ada perbaikan kapal dan pelatihan bagi para nelayan untuk penggunaan gillnet tersebut.

"Pakai gillnet kita mau tidak mau harus renovasi kapal, pakai pendingin, itu butuh waktu 8 bulan. Belum lagi alat-alatnya yang harus pesan terlebih dahulu, belum tentu 1 tahun datang, belum lagi harus ada pelatihan bagi nelayan makainya gimana, jadi banyak tahapannya," ujar dia.

Rasmijan mengusulkan, kalaupun cantrang itu dilarang penggunaannya ke depan, pihaknya meminta untuk masa transisinya diperpanjang hingga dua tahun.

"Tapi juga harus ada kajian jelas yang menyatakan cantrang itu apa merusak lingkungan, apa benar cantrang itu ga ramah lingkungan," tutup dia. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tak Ada Tawar Menawar

Polemik Cantrang Paksa Nelayan Pantura Jadi Pengangguran
Meski larangan soal cantrang sudah dilonggarkan, nelayan Pantura masih ketakutan untuk menjala rezeki di lautan. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal KKP Rifky Effendi Hardijanto mengatakan, mulai 1 Januari 2018, tidak ada lagi tawar-menawar soal larangan penggunaan cantrang untuk menangkap ikan.

"Cantrang selesai sudah, tidak perlu dibahas lagi. Pada 1 Januari 2018 pelarangannya diterapkan, jadi artinya cantrang tidak boleh beroperasi di Indonesia," ujar dia di Kantor KKP, Jakarta, Minggu (17/12/2017).

Dia menjelaskan, meskipun masih ada yang keberatan dan melayangkan protes terhadap kebijakan tersebut, kebijakan ini harus tetap berlaku.

‎"Ya protes kan bisa saja, tapi kan kita bikin aturan harus ditaati, harus diikuti oleh rakyat. Kalau tidak ada yang setuju kan biasa, tetap saja harus ditaati. Negara kalau tidak ada aturannya ya mau bagaimana," kata dia.

Rifky mengakui, memang masih ada nelayan yang belum memiliki alat tangkap lain sebagai pengganti cantrang‎. Namun, KKP akan terus memberikan solusi bagi nelayan agar tetap bisa mencari ikan.

"Ya kalau ada 1-2 case nanti kita selesaikan case by case. Pasti ada yang belum selesai, tapi kan tidak signifikan," tandas dia.

Larangan Cantrang Bikin 50 Ribu Warga Tegal Hilang Pekerjaan

Polemik Cantrang Paksa Nelayan Pantura Jadi Pengangguran
Meski larangan soal cantrang sudah dilonggarkan, nelayan Pantura masih ketakutan untuk menjala rezeki di lautan. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Larangan penggunaan alat tangkap cantrang mulai berlaku 1 Januari 2018. Akibat pelarangan ini, 50 ribu orang di Tegal, Jawa Tengah kini terancam kehilangan mata pencarian.

Hal tersebut diungkapkan oleh Susanto, salah satu nelayan di wilayah Tegal. Menurut dia, sejak larangan penggunaan alat tangkap cantrang diberlakukan, sekitar 600 kapal nelayan ini berhenti beroperasi.

"Kapal nelayan di kota Tegal itu 80 persen alat tangkapnya cantrang, maka dengan diberlakukan ini (larangan cantrang), 80 persen kapal di kota Tegal tidak bisa melaut. Itu jumlahnya 600 kapal," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (14/1/2018).

Selain berdampak langsung pada nelayan, larangan cantrang ini juga mengganggu kegiatan usaha yang terkait dengan perikanan, seperti di industri pengolahan dan pedagang di pasar ikan.

Secara total, lanjut dia, ada sekitar 50 ribu orang yang terdiri dari nelayan, anak buah kapal (ABK), pekerja di industri pengolahan, pedagang ikan, hingga peternak itik di Tegal yang terkena dampak dari kebijakan ini.

"Ini juga berdampak pada sektor yang terkait seperti pengolahan fillet, cold storage, karyawan (industri pengolahan), pasar ikan juga kena. Ini mungkin sekitar 50 ribu orang (terkena dampak). Ini pempek Palembang bahan bakunya dari situ. Peternak itik pakannya dari hasil tangkapan cantrang, itu kepala biji nangka atau ikan kuniran. Itik kalau dikasih makan itu cepat bertelur. Ini efek dominonya besar," jelas dia.

Jika hal ini terus dibiarkan, Susanto khawatir nantinya akan berdampak pada masalah-masalah sosial dan kriminalitas. Sebab, masyarakat yang hidupnya bergantung pada hasil perikanan kini tidak lagi memiliki mata pencarian.

‎"Kalau berlarut-larut ini rawan konflik sosial. Ini kalau terus dibiarkan akan menjadi bom waktu," tandas dia.

Dikutip dari data Aliansi Nelayan Indonesia, dampak dari pelarangan cantrang sekitar 600 kapal cantrang atau 80 persen dari keseluruhan kapal di wilayah Tegal kini berhenti beroperasi. Kemudian 12 ribu ABK dan nelayan cantrang di wilayah tersebut kehilangan pekerjaan dan berdampak pada 48 ribu orang keluarga nelayan.

Selain berdampak kepada nelayan, kebijakan ini‎ juga membuat 11 unit pengolahan ikan (UPI) dengan 550 pekerja tutup, 12 unit cold storage dengan 180 pekerja tutup, 864 buruh dan pekerja di pelabuhan perikanan menganggur serta 101 pemilik kapal mengalami kredit macet dengan total utang mencapai Rp 70,13 miliar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya