HEADLINE: Ditjen Pajak Intip Kartu Kredit, Incar Siapa?

Kebijakan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengintip data kartu kredit nasabah akan berdampak pada konsumsi masyarakat.

oleh Arthur GideonAchmad Dwi AfriyadiSeptian DenyFiki AriyantiIlyas Istianur Praditya diperbarui 06 Feb 2018, 00:01 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2018, 00:01 WIB
Gesek Mesin Kartu Kredit
Ilustrasi Foto Gesek Kartu Kredit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan aturan yang mewajibkan industri perbankan melaporkan data transaksi kartu kredit ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Beleid ini sebenarnya sudah dirancang sejak dua tahun lalu tetapi pelaksanaannya terus ditunda karena menuai protes.

Wajib lapor data kartu kredit nasabah tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan Dengan Perpajakan.

Telah diteken Sri Mulyani pada 29 Desember 2017 dan diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana pada tanggal yang sama.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan PMK 228 merupakan pengganti PMK 16/PMK.03/2013 jo PMK 39/PMK.03/2016.

Hestu menjelaskan, adanya aturan tersebut merupakan penerapan dari Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Tujuan Perpajakan.

Secara rinci, pelaksanaan penyampaian data kartu kredit akan diatur dalam dua hal. "Pertama, (perbankan) wajib menyampaikan (data) hanya untuk total pembelanjaan atau tagihan paling sedikit Rp 1 miliar dalam setahun," kata Hestu Yoga saat dihubungi Liputan6.com.

Kedua, aturan penyampaian data dan informasi setiap tahun sesuai periode penyampaian data keuangan untuk saldo rekening per 31 Desember setiap tahunnya.

"Dengan demikian, penyampaian data kartu kredit oleh perbankan atau penyelenggara kartu kredit kepada Ditjen Pajak untuk pertama kalinya adalah data kartu kredit untuk tagihan selama 2018 (Januari-Desember). Total tagihannya selama setahun paling sedikit Rp 1 miliar‎," tegas Hestu Yoga.

Itu artinya, Ditjen Pajak akan mulai mengintip data dan informasi kartu kredit pada nasabah yang tercatat memiliki total tagihan ‎dengan batas minimal Rp 1 miliar setahun untuk periode Januari-Desember 2018.

"Data itu dilaporkan perbankan untuk pertama kalinya kepada Ditjen Pajak ‎paling lambat akhir April 2019," tegas dia.

Data transaksi nasabah kartu kredit yang wajib diserahkan ke Ditjen Pajak harus memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu.

Juga harus mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK)/Nomor paspor pemilik kartu, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi, dan pagu kredit.

Dari data dan informasi kartu kredit yang disampaikan perbankan maupun penyelenggara kartu kredit, Ditjen Pajak dapat melihat profil penghasilan WP dan mengecek kepatuhannya terkait pelaporan penghasilan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

"Sama seperti informasi saldo rekening, data tagihan kartu kredit dapat digunakan untuk melihat profil penghasilan WP untuk dilihat atau dinilai kepatuhannya dalam melaporkan penghasilan di SPT Tahunannya," jelas dia.

"Data kartu kredit kami berikan threshold (batasan) supaya lebih tepat sasaran dan tidak membebani perbankan maupun Ditjen Pajak sendiri," tegas Hestu Yoga.

 

Infografis Intip Data Kartu Kredit
Infografis Intip Data Kartu Kredit

Masih Ada Penolakan

Gesek Mesin Kartu Kredit
Ilustrasi Foto Gesek Kartu Kredit (iStockphoto)

Industri perbankan pun langsung berekasi usai keluarnya aturan tersebut. Seragam, para bankir menolak. Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Suprajarto berharap kepada pemerintah untuk menimbang kembali kebijakan wajib lapor data dan informasi kartu kredit nasabah karena dikhawatirkan memicu kegaduhan.

"Mudah-mudahan oleh pemerintah bisa dipikirkan kembali untuk tidak dalam waktu dekat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Dihubungi terpisah, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja tak ingin berspekulasi dengan dampak dari kebijakan tersebut.

Dia akan menunggu masukan dari nasabah atas rencana Ditjen Pajak mengintip data kartu kredit untuk tagihan paling sedikit Rp 1 miliar setahun.

"Ini belum dapat masukan dari nasabah, kami tidak mau mengada-ada. Gaduh atau tidaknya kalau sudah betul-betul ada komplain dari nasabah, baru kami bisa komen berdasarkan fakta. Jadi nanti kita tanya lebih detail ke nasabah," jelas Jahja.

Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta mengatakan kebijakan ini akan menimbulkan kekhawatiran para pengguna kartu kredit dan juga nasabah yang berencana membuka kartu kredit.

"Ya seperti sebelumnya, ketakutan seperti sebelumnya, masyarakat enggan menggunakan lagi kartunya. Dan ini akan berdampak kembali meningkatnya transaksi tunai," tegas Steve kepada Liputan6.com.

Dikatakan, saat ini penggunaan kartu kredit setiap tahunnya mengalami peningkatan. Ini juga terjadi sering upaya digalakkannya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Per 2017, total jumlah kartu kredit yang beredar mencapai 17 juta kartu.

Meski aturan tersebut sudah diteken Menteri Keuangan, Steve mengaku pihak asosiasi belum diajak diskusi mengenai implementasi aturan baru tersebut. Namun sore ini Asosiasi akan berdiskusi dengan pihak DJP mengenai hal itu.

Steve mengaku, apabila aturan tersebut memiliki batasan dimana yang akan diserahkan ke DJP adalah transaksi kartu kredit minimal Rp 1 miliar per tahun, pihaknya cukup mengapresiasinya.

"Kalau memang ada trasehold Rp 1 miliar itu lebih bagus, artinya tidak semua transaksi dilaporkan, jadi masyarakat tidak perlu khawatir," ujarnya.

Hanya saja, dirinya berharap kepada pemerintah untuk bisa mengkomunikasikan mengenai teknis aturan tersebut secara menyeluruh. Dengan demikian tidak menimbulkan kesimpang siuran informasi di masyarakat, yang ujungnya mempengaruhi bisnis perbankan.

Dalam beleid PMK 228, ada 23 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit yang wajib lapor ke Ditjen Pajak, yakni: Pan Indonesia Bank, Ltd.Tbk, PT Bank ANZ Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank MNC Internasional, PT Bank ICBC Indonesia, PT Bank Maybank Indonesia Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Adapula PT Bank Mega Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT BNI Syariah, PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank Permata Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, PT Bank Sinarmas, PT Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, The Hongkong & Shanghai Banking Corp (HSBC), PT Bank QNB Indonesia, Citibank N.A, dan PT AEON Credit Services.

 

Pengaruhi Konsumsi Masyarakat

Gesek Mesin Kartu Kredit
Ilustrasi Foto Gesek Kartu Kredit (iStockphoto)

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengungkapkan, kebijakan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengintip data kartu kredit nasabah akan berdampak pada konsumsi masyarakat kalangan menengah atas.

"Kelas menengah atas yang akan kena dampaknya ke konsumsi," kata Bhima saat dihubungi Liputan6.com.

Menurutnya, aturan wajib lapor data kartu kredit nasabah oleh perbankan ke Ditjen Pajak dapat memicu reaksi dari masyarakat kelas menengah atas, seperti penutupan kartu kredit.

Hal ini diungkapkan Bhima pernah terjadi ketika rencana PMK Nomor 39/PMK/03/2016 diterapkan. Namun akhirnya ditunda oleh Ditjen Pajak karena alasan akan fokus pada pengumpulan data harta dalam rangka implementasi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

PMK 39/2016 mengatur tentang Perubahan Kelima atas PMK Nomor 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.

"Tahun 2016 pernah ada PMK 39. Waktu itu, langsung banyak orang tutup kartu kredit. Memang orang-orang kaya ini sensitif soal pajak," Bhima menjelaskan.

Bukan cuma orang kaya yang terimbas, perbankan dan toko ritel pun diperkirakan Bhima akan kena getahnya.

"Buat toko ritel yang kerja sama dengan kartu kredit bank misalnya, akan menurun omzetnya. Overall, kredit konsumsi di 2018 bisa lebih rendah dari tahun lalu," terangnya.

Bhima menilai, kebijakan wajib lapor data kartu kredit nasabah dilakukan pemerintah demi mengejar target penerimaan pajak 2018 yang dipatok sebesar Rp 1.424 triliun. Target tersebut tumbuh 20 persen dari realisasi setoran pajak Rp 1.147 triliun pada 2017.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo pun meminta kepada Dirjen Pajak untuk mengantisipasi penolakan tersebut.

Menurut Prastowo, mencermati situasi dan kondisi perekonomian, mestinya waktu pemberlakuan ketentuan pemanfaatan data kartu kredit diperhitungkan.

"Sebaiknya didahului dengan pembuatan sistem/SOP/tata cara pemanfaatan yang jelas, mudah, dan akuntabel. Pelaksanaan yang terburu-buru dan tanpa persiapan akan mengundang kekhawatiran yang tidak perlu," ujarnya.

"Persepsi dan kekhawatiran yang muncul harus diantisipasi karena dapat memicu penurunan penggunaan KK dan pada gilirannya dapat merugikan perekonomian nasional," tukas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya