Liputan6.com, Jakarta - Kepada Tim Konsultasi Pajak,
Suami saya berhenti dari perusahaan sejak 2016. Saat ini bekerja serabutan dengan penghasilan tak tentu. Kebetulan saat keluar dari perusahaan tidak diberi bukti potong pajak oleh perusahaan. Saya ingin bertanya bagaimana cara mengurus denda pajak? Apakah tetap harus melanjutkan pembayaran pajak seperti saat bekerja di perusahaan?
Â
Advertisement
Terima kasih
Â
Baca Juga
Â
Naritasukmaxxxxxxxx@gmail.com                      Â
Â
Jawaban:
Â
Yth. Saudari Narita Sukmawati
Apabila suami Saudari tidak melaporkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi tahun 2016 maka suami Saudari akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000.
Penagihan denda tersebut akan dilakukan oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana suami Saudari terdaftar melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP). Suami Saudari baru dapat membayar denda tersebut melalui bank persepsi apabila sudah menerima STP dari KPP.
Agar dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2016 sebaiknya Suami Saudari menghubungi perusahaan di mana dulu bekerja untuk meminta bukti potong yang merupakan hak dari suami Saudari karena bukti potong tersebut diperlukan untuk lampiran SPT.
Terkait dengan kewajiban perpajakan suami Saudari sekarang, Saudari tidak menjelaskan sumber penghasilan suami saudari, apakah dari pekerjaan sebagai pegawai di perusahaan atau dari pekerjaan bebas, misalnya usaha sendiri seperti dagang atau jasa.
Dalam menjawab pertanyaan Saudari, kami mengasumsikan bahwa penghasilan yang suami Saudari terima sebesar adalah dari usaha dagang. Sesuai ketentuan perpajakan (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013), atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak akan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1 persen dari peredaran bruto.
Dalam hal peredaran bruto (penghasilan kotor sebelum dikurangi harga pokok dan biaya-biaya lainnya) suami Saudari dalam satu bulan adalah Rp 4 juta maka dalam 1 tahun peredaran bruto Suami Saudari adalah sebesar Rp 48.000.000, yaitu tidak lebih dari Rp 4.800.000.000. Dengan demikian atas penghasilan suami Saudari akan dikenakan Pajak Penghasilan Final dengan tarif 1 persen dari peredaran bruto. Pembayaran dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Sebagai contoh, atas peredaran bruto yang suami Saudari peroleh pada Februari 2018 sebesar Rp 3.000.000, suami Saudari harus menyetor PPh Final sebesar Rp 30.000 (1% x Rp.3.000.000) paling lambat tanggal 15 Maret 2018.
Â
Demikian penjelasan kami. Semoga membantu.
Â
Salam,
Â
Fitrah Purnama Megawati, S.Sos
Â
Citas Konsultan Global
Jl. Ciputat Raya No. 28 C Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Â