Cemari Lingkungan, DPR Lanjutkan Pembahasan Cukai Plastik

Adapun konsumsi plastik domestik hingga akhir 2017 diproyeksikan tumbuh 5,4 persen menjadi 5,6 juta ton.

oleh Nurmayanti diperbarui 19 Feb 2018, 17:15 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2018, 17:15 WIB
Kantong Plastik
Pengurangan penggunaan kantong plastik di Inggris. Sumber : mymodernmet.com.

Liputan6.com, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akan tetap melanjutkan pembahasan dengan pemerintah terkait rencana pengenaan produk plastik sebagai objek cukai. Anggota Komisi Keuangan DPR, Muhammad Misbhakun, menyatakan plastik perlu dikenai cukai lantaran memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.

“Pengaruh produk plastik bukan pada tubuh manusia, tetapi pada daur ulang dan isu lingkungan hidup,” kata dia, Senin (19/2/2018).

Misbhakun menjelaskan pemerintah selama ini selalu mengandalkan penerimaan negara dari cukai rokok. Kendati tidak akan memberikan penerimaan yang sangat signifikan seperti halnya cukai rokok, plastik tetap perlu dikenai cukai karena dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup.

“Soal pendapatan cukai plastik jumlahnya tidak akan banyak dan lebih banyak jumlah pendapatan cukai rokok,” dia menambahkan.

Dia mengaku, saat ini pembahasan tentang cukai plastik di Komisi Keuangan tinggal memasuki tahap finalisasi. Namun, politikus asal Pasuruan, Jawa Timur, ini tidak menyampaikan secara detail kapan waktu pembahasan selanjutnya dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

“Ditjen Bea dan Cukai hanya perlu rapat konsultasi dengan Komisi XI DPR dalam hal ini aturan teknisnya kewenangan pemerintah untuk mengatur,” jelas dia.

Adapun konsumsi plastik domestik hingga akhir 2017 diproyeksikan tumbuh 5,4 persen menjadi 5,6 juta ton. Tingginya konsumsi plastik di dalam negeri telah menempatkan Indonesia sebagai negara kedua terbesar penghasil sampah plastik di dunia setelah China.

Hasil riset Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan pada 2015 menyebutkan Indonesia menyumbang sampah plastik di lautan hingga 187,2 juta ton.

Angka ini di bawah China dengan volume sampah 262,9 juta ton. Di bawah Indonesia terdapat negara Asia Tenggara lain penyumbang sampah plastik, seperti Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengklaim hampir semua lembaga maupun institusi telah menyetujui untuk menjadikan produk kantong plastik atau kresek sebagai barang kena cukai (BKC) baru.

Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengaku pembahasan terus dilakukan termasuk upaya untuk memfinalisasi pengenaan cukai.

Cukai kantong plastik memang menjadi target BKC yang akan dikenakan dalam waktu dekat. Pengenaan cukai juga menjadi salah satu kebijakan yang akan ditempuh DJBC tahun ini sebagai terobosan untuk menambah BKC yang baru.

"Targetnya pasti akan secepatnya. Langkah yang akan kami lakukan tentunya komunikasi ulang dengan DPR Komisi XI," ujar Heru beum lama ini.

YLKI Minta Pemerintah Perhatikan Ini Saat Kenakan Cukai Plastik

Ilustrasi Kantong Plastik
Ilustrasi Kantong Plastik

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung langkah pemerintah untuk menjadikan kantong plastik atau kresek sebagai barang kena cukai (BKC) baru.

Peneliti YLKI Natalya Kurniawati menilai Indonesia memang sudah tergolong darurat plastik. “Sampah plastik di negara kita sudah terlalu banyak. Kalau melakukan pencegahan kembali, itu terlambat. Sehingga solusi yang paling pas adalah dengan mengenakan cukai untuk produk kantong plastik,” ujar dia, Kamis (25/1/2018).

Akan tetapi, dia meminta, sebelum memberlakukan peraturan tersebut, pemerintah harus melakukan spesifikasi produk cukai kantong plastik. Misalnya, jenis plastik yang wajib dikenakan cukai maupun yang tidak terkena cukai.

Sementara plastik yang bisa hancur dan terurai tak perlu dikenakan cukai. “Namun saat ini ada kantong plastik yang bisa hancur tapi tidak terurai, ini harus dikenakan cukai. Jenis plastik ini tentu membahayakan lingkungan,” kata dia.

Agar aturan ini dapat diterima semua golongan, baik industri maupun masyarakat, YLKI meminta pemerintah harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Selain itu, peta jalan yang dibuat juga harus jelas.

“Misalnya industri harus melakukan langkah-langkah apa untuk menjalankan aturan ini. Itu semua harus jelas di peta jalan yang dibuat pemerintah,” dia memaparkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya