Liputan6.com, Jakarta Harga rokok di Indonesia dinilai sudah cukup mahal dibandingkan sejumlah negara lain. Hal ini dengan melihat dan membandingkan daya beli antar negara tersebut.
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai, Deni Surjantoro mengatakan, harga rokok dalam lima tahun terakhir cenderung kurang terjangkau.
Baca Juga
"Kalau secara nominal absolut memang murah. Dengan mempertimbangkan daya beli, harga rokok di Indonesia sudah mahal," kata Deni di Jakarta.
Advertisement
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo menyebut, harga rokok di Indonesia lebih mahal dibandingkan beberapa negara seperti Jepang, Korea, China, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.
Penilaian ini berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.
Yustinus menjelaskan, harga rokok di Indonesia jika memperhitungkan faktor daya beli, sebenarnya tidaklah murah.
"Kalau dibandingkan dengan harga dan dihitung daya beli, harga rokok Indonesia sudah mahal dibandingkan negara-negara lainnya," kata Yustinus.
Sumber: Merdeka.com
Reporter: Idris Rusadi Putra
Kinerja Emiten Rokok
Sejumlah emiten rokok telah menyampaikan rilis kinerja keuangan pada 2017. Hasil kinerja keuangan emiten rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan kinerja bervariasi.
Mengutip laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), seperti ditulis Selasa (3/4/2018), dua emiten rokok masih mencatatkan kinerja positif meski belum terlalu signifikan.
PT Gudang Garam Tbk (GGRM) membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk naik 16,12 persen menjadi Rp 7,75 triliun pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 6,67 triliun.
Kenaikan laba itu didorong pertumbuhan pendapatan 9,21 persen pada 2017. Perseroan meraup pendapatan Rp 83,30 triliun pada 2017 dari periode 2016 sebesar Rp 76,27 triliun.
Perseroan mencatatkan biaya pokok pendapatan naik menjadi Rp 65,08 triliun pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 59,65 triliun. Hal itu mendorong laba bruto naik 9,6 persen menjadi Rp 18,22 triliun.
Perseroan mencatatkan kenaikan pendapatan lainnya menjadi Rp 166,18 miliar pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 161,28 miliar. Perseroan alami rugi kurs sebesar Rp 14,69 miliar pada 2017 dari sebelumnya untung Rp 1,95 miliar.
Perseroan menurunkan beban bunga 32,76 persen menjadi Rp 800,74 miliar. Hal itu mendorong laba bersih per saham naik menjadi Rp 4.030 pada 2017 dari periode 2016 sebesar Rp 3.470.
Sementara itu, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatatkan kinerja kenaikan pendapatan terbatas. Namun, laba bersih perseroan turun tipis pada 2017.
PT HM Sampoerna Tbk membukukan laba turun tipis 0,71 persen menjadi Rp 12,67 triliun pada 2017. Akan tetapi, penjualan naik 3,79 persen menjadi Rp 99,09 triliun pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 95,46 triliun. Beban pokok penjualan naik 4,55 persen menjadi Rp 74,87 triliun.
Hal itu mendorong laba kotor naik 1,51 persen menjadi Rp 24,21 triliun. Perseroan mencatatkan kenaikan beban penjualan dari Rp 6,09 triliun pada 2016 menjadi Rp 6,25 triliun pada 2017. Beban umum dan administrsi naik menjadi Rp 1,84 triliun.
Selain itu, perseroan mampu menurunkan beban lain-lain menjadi Rp 73,99 miliar pada 2017. Biaya keuangan naik menjadi Rp 25,53 miliar pada 2017.
Selain itu, kinerja emiten rokok lainnya kurang menggembirakan. PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) mencatatkan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sekitar 61,81 persen dari Rp 106,15 miliar pada 2016 menjadi Rp 40,53 miliar pada 2017.
Hal itu didorong pendapatan turun 12,41 persen menjadi Rp 1,47 triliun pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 1,68 triliun.
Beban pokok penjualan turun menjadi Rp 1,04 triliun pada 2017 dari 2016 sebesar Rp 1,17 triliun. Hal itu mendorong laba bruto susut 15,02 persen menjadi Rp 432,79 miliar pada 2017.
Perseroan mencatatkan kenaikan beban umum dan administrasi naik menjadi Rp 158,48 miliar pada 2017 dari periode 2016 sebesar Rp 150,88 miliar. Beban penjualan naik menjadi Rp 230,13 miliar. Hal itu membuat laba usaha merosot 67,12 persen menjadi Rp 44,17 miliar.
Dengan melihat kondisi itu, laba per saham dasar perseroan turun menjadi 19,31 pada 2017 dari periode sama tahun sebelumnya 50,56.
Advertisement
Produsen Lain
Sementara itu, PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) masih mencatatkan rugi. Akan tetapi, perseroan mampu turunkan rugi perseroan pada 2018. Perseroan mencatatkan penurunan rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 75,14 persen menjadi Rp 517,69 miliar pada 2017.
Akan tetapi, penjualan perseroan naik tipis 5,35 persen menjadi Rp 20,25 triliun pada 2017. Beban pokok penjualan naik menjadi Rp 18,16 triliun pada 2017.
Hal itu mendorong laba kotor susut 1,08 persen menjadi Rp 2,09 triliun pada 2017. Perseroan mampu mengurangi beban operasi antara lain beban penjualan turun dari Rp 2,1 triliun pada 2016 menjadi Rp 1,84 triliun pada 2017.
Beban operasi lainnya turun menjadi Rp 2,18 miliar pada 2017 dari periode 2016 sebesar Rp 194,84 miliar. Beban keuangan turun menjadi Rp 90,70 miliar pada 2017 dari periode 2016 sebesar Rp 694,44 miliar.
Keuntungan lainnya mencapai Rp 236,56 miliar pada 2017 dari periode sama tahun sbeelumnya Rp 12,85 miliar.
Perseroan mencatatkan rugi usaha turun 58,61 persen menjadi Rp 313,67 miliar pada 2017.
Total liabilitas dan ekuitas tercatat naik menjadi Rp 14,08 triliun pada 31 Desember 2017 dari posisi Rp 13,47 triliun pada 2016. Perseroan kantongi kas Rp 161,35 miliar pada 31 Desember 2017.