Penugasan Pertamina untuk Kelola Blok Migas Perlu Dikaji Ulang

Iklim investasi migas di Indonesia semakin tidak kondusif dengan ditetapkannya Pertamina secara otomatis sebagai operator blok migas terminasi.

oleh Septian Deny diperbarui 08 Apr 2018, 10:53 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2018, 10:53 WIB
Lokasi penampungan minyak dan gas di Terminal Senipah, Peciko, Blok Mahakam, Kalimantan. (Abelda/Liputan6.com)
Lokasi penampungan minyak dan gas di Terminal Senipah, Peciko, Blok Mahakam, Kalimantan. (Abelda/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Penugasan yang diberikan pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengelola blok minyak dan gas bumi (migas) yang habis masa kontraknya dinilai perlu dikaji ulang.

Alasannya, keputusan untuk melibatkan Pertamina sebagai operator blok terminasi akan merugikan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) sebelumnya, sekaligus berpotensi memberatkan BUMN migas itu sendiri.

Anggota Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan, sebagai contoh, nama China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan PT Saka Energi Indonesia akan hilang dalam daftar pemegang hak partisipasi (PI) blok Southeast Sumatra (SES) karena kontraknya habis.

CNOOC sebelumnya memegang PI SES sebesar 65,54 persen dan bertindak selaku operator. Sementara Saka Energi Sumatra memiliki PI 8,91 persen. Namun, dalam daftar pemegang PI terbaru hanya ada nama Pertamina sebagai operator dan PT GHJ SES Indonesia sebagai mitranya.

"Bukan hanya itu, nama Saka Energi dan beberapa kontraktor lama juga tidak nampak sebagai pemegang hak partisipasi blok Sanga-sanga di Kalimantan Timur," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (8/4/2018).

Dia menjelaskan, Pertamina sebagai operator akan bermitra dengan PT Karunia Utama Perdana dan Opicoil Houston Inc. Sementara Vico sebagai operator terdahulu bersama Saka Energi, Virginia International Co, Universe Gas & Oil Company Inc, dan LASMO Sanga-sanga mengundurkan diri.

Kardaya menilai, ada yang salah dengan mekanisme penugasan Pertamina sebagai operator blok terminasi. Hal tersebut menurutnya akan mengganggu iklim investasi di sektor hulu migas. Terlebih Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM melansir akan ada 26 blok migas yang akan habis kontraknya mulai tahun ini sampai 2026 mendatang.

“Mundurnya CNOOC karena mereka tidak tertarik untuk menjalin kerja sama dengan Pertamina. Selain itu, ada dua penyebab lain seperti kapasitas minyak yang sudah habis dan iklim investasi yang tidak menarik,” kata dia.

 

Justru Bisa Merugikan Pertamina

Lokasi penampungan minyak dan gas di Terminal Senipah, Peciko, Blok Mahakam, Kalimantan. (Abelda/Liputan6.com)
Lokasi penampungan minyak dan gas di Terminal Senipah, Peciko, Blok Mahakam, Kalimantan. (Abelda/Liputan6.com)

Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menyatakan, iklim investasi migas di Indonesia semakin tidak kondusif dengan ditetapkannya Pertamina secara otomatis sebagai operator blok migas terminasi.

Pasalnya, KKKS memerlukan kepastian hukum sebelum memutuskan untuk menanamkan investasi berjumlah besar yang baru akan balik modal dalam jangka panjang.

“Ini masih menjadi masalah ditambah lagi revisi Undang-Undang (UU) Migas masih belum jelas, akibatnya investor menunggu dan bisa beralih ke tempat lain,” ungkap dia.

Selain itu, lanjut Karyada, penunjukkan Pertamina sebagai operator blok terminasi juga berpotensi merugikan BUMN tersebut.

“Kalau ternyata gagal mengelola blok tersebut, tentu akan mengganggu kinerja perseroan. Seharusnya mereka bisa menolak dan melakukan kajian dulu jika ditawarkan sebagai operator. Tapi kan sebagai BUMN, Pertamina mau tidak mau harus menerima perintah dari pemerintah," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya