Liputan6.com, Jakarta Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian dunia ke depannya, yang salah satunya ditopang melalui kinerja dari industri nasional.
Peluang besar tersebut, juga didukung dengan adanya masa emas, yaitu bonus demografi atau peningkatan jumlah penduduk usia produktif pada 2020-2030.
"Sehingga nanti pada 100 tahun Indonesia merdeka tahun 2045, Insyaallah Indonesia akan masuk lima negara ekonomi terbesar di dunia," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (9/4/2018).
Dia menjelaskan, berdasarkan hasil riset PricewaterhouseCoopers (PwC), salah satu penyedia jasa auditor besar di dunia, posisi perekonomian Indonesia di peringkat ke-5 dunia diprediksi lebih cepat pada tahun 2030 dengan estimasi nilai Produk Domestk Bruto (PDB) US$ 5,424 miliar.
Sementara pada 2050, peringkat ekonomi Indonesia bakal naik menjadi ke-4 dunia dengan perkiraan nilai PDB USD 10,502 miliar yang dihitung melalui metode Purchasing Power Parity (PPP).
Menurut riset PwC ini, Indonesia dinilai sebagai big emerging market karena merupakan negara dengan perekonomian terkuat di Asia Tenggara. “Untuk mencapai sasaran tersebut, tentunya perlu perjuangan dan kerja keras. Sehingga, optimisme harus didorong oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” kata dia.
Airlangga mengungkapkan, saat memasuki momentum bonus demografi, beberapa negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Misalnya, Jepang yang mampu tumbuh 5,5 persen, China hingga mencapai 9,2 persen, Singapura meraih 7,3 persen, dan Thailand sekitar 4,8 persen.
“Untuk itu, kita harus manfaatkan peluang emas tersebut. Kita bisa petik hasilnya pada tahun 2030,” lanjut dia.
Dia meyakini, implementasi Industri 4.0 dapat mengakselerasi target visi Indonesia emas 2045. “Saat ini, Indonesia telah masuk one triliunan dollar club,” tutur dia.
Menurut Airlangga, perbaikan ekonomi di Tanah Air, juga terlihat dari empat aspek selama 15 tahun terakhir.
Pertama, populasi tenaga kerja meningkat lebih dari 30 juta, yang ditopang dengan naiknya gaji sebesar dua kali lipat. Kedua, pertumbuhan konsumsi meningkat pula delapan kali lipat, di mana saat ini menyumbangkan 55 persen dari PDB.
“Ketiga, aspek investasi kita pun luar biasa peningkatannya, naik 13 kali lipat, yang juga mengalami peningkatan terhadap penyumbangan ke PDB dari 22 persen menjadi 34 persen. Terakhir, kita lihat dari kapitalisasi pasar bursa meningkat 15 kali lipat, kini kapitalisasinya mencapai USD 500 miliar,” jelas dia.
Maka itu, lanjut Airlangga, stabilitas politik dan keamanan menjadi faktor penting dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Selanjutnya, peningkatan level pendidikan turut menjadi jawaban bagi kebutuhan industri nasional dalam memiliki SDM kompeten sesuai perkembangan saat ini menghadapi era Industri 4.0.
Making Indonesia 4.0
Dia juga optimistis, implementasi Making Indonesia 4.0 yang sukses akan mampu mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen-2 persen per tahun, sehingga pertumbuhan PDB per tahun akan naik dari 5 persen menjadi 6 persen-7 persen pada periode 2018-2030.
Dari capaian tersebut, industri manufaktur akan berkontribusi sebesar 21 persen-26 persen terhadap PDB pada 2030.
Selanjutnya, pertumbuhan PDB bakal digerakkan oleh kenaikan signifikan pada ekspor netto, di mana Indonesia diperkirakan mencapai 5 persen-10 persen rasio ekspor netto terhadap PDB pada 2030.
Selain kenaikan produktivitas, Making Indonesia 4.0 menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 7 juta-19 juta orang, baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur pada 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar.
“Dalam mencapai target tersebut, industri nasional perlu banyak pembenahan terutama dalam aspek penguasaan teknologi yang menjadi kunci penentu daya saingnya,” tegas Menperin.
Adapun lima teknologi utama yang menopang implementasi Industri 4.0, yaitu Internet of Things, Artificial Intelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing.
Untuk penerapan awal Industri 4.0, Indonesia akan berfokus pada lima sektor manufaktur, yaitu industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri otomotif, industri kimia, serta industri elektonik.
“Sektor ini dipilih setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran PDB, perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar,” jelas dia.
Di samping itu, Making Indonesia 4.0 memuat 10 inisiatif nasional yang bersifat lintas sektoral untuk mempercepat perkembangan industri manufaktur di Indonesia.
Kesepuluh inisiatif tersebut, mencakup perbaikan alur aliran barang dan material, membangun satu peta jalan zona industri yang komprehensif dan lintas industri, mengakomodasi standar-standar keberlanjutan, memberdayakan industri kecil dan menengah, serta membangun infrastruktur digital nasional.
Kemudian, menarik minat investasi asing, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan ekosistem inovasi, insentif untuk investasi teknologi, serta harmonisasi aturan dan kebijakan.
“Dengan adanya manfaat yang nyata, Indonesia berkomitmen untuk mengimplementasikan Making Indonesia 4.0 dan menjadikannya sebagai agenda nasional,” tandas dia.
Advertisement
Lanjutkan Membaca ↓