Liputan6.com, Jakarta DPR menilai perlu adanya sebuah kebijakan yang mengatur tarif pajak bagi belanja online atau e-commerce milik asing. Hal itu demi melindungi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Menurut Ketua DPR Bambang Soesatyo, Komisi VI DPR dan Komisi XI DPR perlu menangani isu ini. Caranya dengan mendorong Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Perdagangan (Kemendag), bersama dengan Kementerian Keuangan untuk mengkaji aturan tarif pajak bagi belanja online asing.
Advertisement
Baca Juga
"Bagaimanapun kita harus mengupayakan perlindungan UMKM dan menahan laju pedagang online asing," kata dia, Kamis (19/4/2018).
Namun, dia meminta, sebagai anggota Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tarif pajak yang ditetapkan harus wajar.Â
Di sisi lain, Politikus yang kerap disapa Bamsoet itu juga meminta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah agar dapat mengatur strategi untuk mendorong UMKM ke pasar ekspor. Hal ini harus dilakukan utamanya melalui pemanfaatan teknologi online.
"Mengingat kegiatan belanja melalui online semakin banyak diminati oleh masyarakat Indonesia,"Â dia menambahkan.
Untuk diketahui, sebenarnya sudah ada aturan soal bea masuk untuk [belanja online]( 3288969 ""). Bea tersebut akan dikenakan bila harga barang yang dibeli di atas USD 100 atau setara sekitar Rp 1,37 juta.
Artinya barang-barang di bawah harga tersebut tidak dikenai pajak. Pada titik itu, banyak pelaku industri dalam negeri yang melancarkan protes. Sebab akibat aturan itu, banyak masyarakat membeli dari online asing. Hal tersebut berdampak negatif pada ritel dan industri UMKM dalam negeri.‎
DJP Kejar Pajak Jualan Online via Instagram dan Facebook
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengenakan pajak kepada para pedagang online yang berjualan di Instagram, Facebook, dan media sosial (medsos) lainnya. DJP tengah menggodok aturan tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) DJP, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, pemerintah sedang menyusun aturan pajak perdagangan online (e-commerce), khususnya bagi marketplace.
Baca Juga
Marketplace merupakan lapak online atau media yang digunakan untuk memasarkan sebuah produk. Contohnya, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan lainnya yang digunakan untuk membangun toko online.
"Bukan berarti kalau marketplace e- commerce duluan (dikenakan pajak), yang lain tidak kena (jualan di medsos)," ujar Hestu Yoga di Jakarta, Senin (19/2/2018).
Dia mengaku, karakteristik antara marketplace dan berjualan online di Instagram, Facebook maupun media sosial lain sangat berbeda. Namun bukan berarti jualan online di medsos bisa lepas dari kewajiban membayar pajak.
"Bukan berarti yang melalui medsos tidak bayar pajak. Mereka tetap harus melaksanakan kewajiban perpajakan dengan self assessment. Yang jualan di Instagram, ya lapor penghasilannya dari situ berapa di SPT Pajak," jelasnya.
DJP, tegas Hestu Yoga, akan mengawasi secara konsisten kegiatan atau aktivitas penjualan pelaku usaha di medsos.
"Jadi sesuai ketentuan, mereka tetap lapor, bayar pajak, tapi tidak melalui mekanisme marketplace," dia menuturkan.
Hestu Yoga menambahkan, DJP akan tetap mencari cara yang lebih baik dan efisien untuk menjangkau pajak pengusaha yang berjualan via medsos, dan di luar marketplace.
"Regulasi e-commerce (termasuk jualan di Instagram) masih dibahas intensif dengan BKF dan Bea Cukai Kemenkeu. Kita juga akan ketemu dengan pelaku e-commerce lagi untuk mematangkan soal itu. Mudah-mudahan bisa segera keluar," jelas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement