Selama Setahun, Jumlah Pengangguran Turun 140 Ribu Orang

BPS mencatat lapangan pekerjaan yang alami penurunan antara lain pertanian 1,41 persen, konstruksi 0,2 persen dan jasa pendidikan 0,16 persen.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 07 Mei 2018, 15:11 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2018, 15:11 WIB
20160223-Ilustrasi-Pengganguran-iStockphoto
Ilustrasi Tidak Bekerja atau Pengangguran (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kondisi terkini mengenai ketenagakerjaan di Indonesia hingga Februari 2018. Dari data yang disampaikan selama Februari 2017 hingga Februari 2018, jumlah pengangguran turun 140 ribu orang.

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, jumlah pengangguran yang turun ini sejalan dengan angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang turun 5,13 persen.

"Jika dilihat dari tingkat pendidikan, TPT yang tertinggi itu dari SMK di antara tingkat pendidikan lainnya, yaitu mencapai 8,92 persen," tegas Suhariyanto di kantornya, Senin (7/5/2018).

Pria yang akrab dipanggil Kecuk ini juga menganggap angka ini menunjukkan pekerjaan rumah besar pemerintah untuk memenuhi kurikulum SMK yang sesuai dengan kebutuhan di dunia usaha.

Di sisi lain, jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibandingkan Februari 2017. Sejalan dengan itu, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebesar 69,2 persen, meningkat 0,18 persen.

Jika dilihat lebih rinci lagi, dari jumlah angkatan kerja tersebut, penduduk yang benar-benar bekerja hanyalah 127 juta orang, atau bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017.

Sementara lapangan pekerjaan yang meningkat persentase penduduk yang bekerja terutama pada penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 0,68 persen, jasa lainnya 0,4 persen, dan industri pengolahan 0,39 persen.

"Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan adalah pertanian 1,41 persen, konstruksi 0,2 persen dan jasa pendidikan 0,16 persen," tutur Kecuk. (Yas)

 

BPS: Pertumbuhan Ekonomi RI Kuartal I 2018 5,06 Persen

2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pertumbuhan ekonomi wajib meningkat hingga 6 persen lebih mulai 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06 persen di kuartal I-2018 (Year on Year). Capaian ini lebih tinggi dibanding kuartal I-2017 yang sebesar 5,01 persen. 

"Dengan berbagai peristiwa di dalam maupun di luar negeri, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 sebesar 5,06 persen. Lebih bagus dibanding kuartal I-2017 sebesar 5,01 persen dan kuartal I-2016 sebesar 4,94 persen dan 4,83 persen di periode yang sama 2015," jelas Kepala BPS Suhariyanto saat Rilis Produk Domestik Bruto (PDB) Kuartal I-2018 dikantornya, Senin 7 Mei 2018.

Dia menjelaskan, ada beberapa hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 tersebut. Antara lain, harga komoditas migas dan nonmigas di pasar internasional kuartal I ini mengalami peningkatan, Inflasi di kuartal I ini terkendali. Nilai ekspor belanja barang Indonesia pada kuartal I 2018 mencapai USD 44,26 miliar. Sementara nilai impor mencapai USD 43,98 miliar.

"Kita berharap pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi lagi ke depan karena ada momen yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, yakni ada Lebaran, Pilkada, Asian Games, dan momen lainnya," papar Suhariyanto. 

Sebelumnya, Ekonom dari Institute for Development of Economics andFinance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen di kuartalI-2018. Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding perkiraan BankIndonesia (BI) dan pemerintah, masing-masing sekitar 5,11 persen dan5,2 persen.

"Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 diprediksi sebesar 5 persen ataustagnan dibanding kuartal I-2017," katanya di Jakarta, Senin pekan ini.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi di kuartal I tahun lalu sebesar 5,01 persen.

Perlambatan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, dijelaskan Bhima, karena dipengaruhi faktor konsumsi rumah tangga yang sedikit terkontraksi. Kondisi ini, sambungnya, tercermin dari data indeks penjualan riil yang melambat, khususnya pembelian durable goods atau barang tahan lama.

"Keyakinan konsumen juga rendah, penjualan kendaraan, khususnya penjualan mobil pada Januari-Maret ini tumbuh 2,8 persen (yoy) atau lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu," ujarnya.

Di samping itu, pertumbuhan tabungan baik dalam bentuk valuta asing (valas) dan rupiah masih cukup tinggi, yakni 10,2 persen per Maret2018.

"Porsi konsumsi rumah tangga 56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga menjadi indikasi awal perlambatan ekonomi masih akan berlangsung tahun ini," ungkap Bhima.

Sementara itu, lanjutnya, dari sisi investasi masih belum ada kenaikanyang signifikan. Hal itu karena faktor musiman awal tahun yang biasanya realisasi investasi cenderung kecil. Namun, dia optimistis akan meningkat di semester II ini.

Menurut Bhima, ekspor pun masih landai karena pada Januari-Februari2018 tercatat masih terjadi defisit neraca perdagangan. Sedangkansurplus pada bulan ketiga ini, diakuinya, akibat perlambatan impor yang hanya tumbuh 2,13 persen (mom).

Kinerja ekspor minyak kelapa sawit pada tiga bulan pertama ini,sambungnya, anjlok 17,34 persen dibanding posisi yang sama tahun lalu. Minyak sawit cukup dominan atau porsinya 12,8 persen dari total ekspor nonmigas terkena dampak perang dagang.

"Jadi motor pendorong pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 berasal dari belanja pemerintah yang realisasinya lebih baik dari tahun lalu. Belanja pemerintah berkontribusi sekitar 9,5 persen dari komponen PDB pengeluaran," tandas Bhima.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya