Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menghadiri rapat paripurna mengenai laporan pemerintah mengenai pertanggungjawaban atas pelaksanaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara 2017.
Sri Mulyani membeberkan, pertumbuhan ekonomi 2017 terbaik dalam tiga tahun terakhir. "Perekonomian Indonesia pada 2017 tumbuh 5,07 persen, lebih tinggi dlbandingkan capaian tahun 2016 sebesar 5,03 persen. Pertumbuhan pada tahun 2017 merupakan pertumbuhan tertinggi selama 3 tahun terakhir, meskipun masih sedikit dibawah asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,2 persen," ujarnya di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Dia menjelaskan, kondisi perekonomian global pada 2017 yang belum sepenuhnya pulih dapat diseimbangkan oleh faktor domestik yang lebih kondusif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung tingkat konsumsi masyarakat yang terjaga seiring dengan inflasi yang terkendali.
Advertisement
"Pembangunan infrastruktur pada 2017 juga memberikan dampak multiplier pada aktivitas ekonomi dalam negeri serta mutu pulihnya ekspor pada semester kedua tahun 2017. Dengan kinerja pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017, angka Produk Domestrk Bruto (Atas Dasar Harga Berlaku) tahun 2017 mencapai Rp 13.588,8 triliun meningkat dibandingkan tahun 2016 yang sebesar Rp12.406,8 triliun," jelasnya.
Terkait inflasi, pemerintah berhasil menjaga inflasi tahun 2017 sebesar 3,61 persen, atau di bawah target inflasi yang telah ditetapkan dalam APBN-P tahun 2017, sekitar 4,3 persen.
Rendahnya tingkat inflasi tersebut dipengaruhi oleh terjaganya keseimbangan sisi permintaan dan penawaran dan juga rendahnya komponen harga yang diatur pemerintah.
Reporter: Anggun P Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Indef: Suku Bunga Tinggi, Ekonomi Tumbuh Makin Sulit
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) yang terus menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen akan ‘menganggu’ target pertumbuhan ekonomi.
Peneliti Indef, Eko Listianto mengatakan, BI terlalu agresif merespons kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) yang terus menaikkan suku bunga acuan di AS.
"Intinya bunga melejit pertumbuhan ekonomi makin sulit. Kalau kita tarik sejak krisis global. Fluktuasi the fed terjadi sejak 2015, pada saat yang sama BI rate nya turun terus. Ini gambaran upaya mendorong ekspansi ekonomi. Namun pada saat yang bersamaan Amerika Serikat mengalami perbaikan ekonomi," kata Eko, dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Pasar Minggu, Selasa (3/7/2018).
Baca Juga
Eko menyayangkan, sikap BI yang terlalu reaktif tersebut. Padahal, cadangan devisa Indonesia sejauh ini masih aman. Eko mengungkapkan, berdasarkan data BI posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 tercatat USD 126,00 miliar, masih cukup tinggi meskipun lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2018 sebesar USD 128,06 miliar.
Eko juga berharap pemerintah bisa menahan diri dari 'obral' obligasi sebab kenaikan bunga acuan akan membuat pasar obligasi diminati. Namun demikian, dengan memperhatikan efektivitas utang pemerintah yang tumpul dalam mengakselerasi ekonomi, situasi kenaikan bunga acuan saat ini tidak boleh menjadi 'windfall' bagi pemerintah untuk memacu utang.
"Jika agresivitas pemerintah dalam perburuan pendanaan melalui utang meningkat, dikhawatirkan 'perang bunga' akibat berkurangnya likuiditas tidak terhindarkan. Lebih dari itu, 'obral' obligasi di tengah situasi kontraksi ekonomi dapat berakibat pada pengetatan likuiditas yang berlebihan, sehingga kebijakan mengalami 'overdosis'," ujar dia.
Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau disebut BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,5 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps juga menjadi 6 persen yang diumumkan pada hasil pertemuan 28-29 Juni 2018.
Reporter: Yauyu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement