Kenaikan Bunga Acuan Fed Turut Picu Kemarahan Donald Trump

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasutioan mengatakan, AS menaikkan kembali suku bunga acuan untuk menaikkan tingkat inflasi di negeri Paman Sam tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Jul 2018, 13:15 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2018, 13:15 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump.(AFP PHOTO)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump.(AFP PHOTO)
Liputan6.com, Jakarta Beberapa hari terakhir, Rupiah masih terpuruk dan belum menunjukkan ciri-ciri penguatan. Rupiah merosot tajam sejak Bank Sentral AS, The Fed kembali mengumumkan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan.
 
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasutioan mengatakan, AS menaikkan kembali suku bunga acuan untuk menaikkan tingkat inflasi di negeri Paman Sam tersebut.
 
 
"Empat hari yang lalu itu Jerome Powell, Gubernur The Fed itu mengumumkan bahwa The Fed akan mem-push supaya inflasi di AS meningkat, kan persoalan mereka inflasi terlalu rendah," kata Darmin di kantornya, Minggu (22/7/2018).
 
Ternyata, kata dia, bukan hanya negara lain yang geram dengan keputusan tersebut bahkan Presiden AS Donald Trump pun menentangnya.
 
"Bukan cuma kita, bahkan Trump saja mulai marah.i\ Ini The Fed kerjaannya menaik-naikkan tingkat bunga saja. Sudah ada itu komentar itu dari Trump," kata Darmin.
 
Kondisi sebaliknya justru terjadi di China. Di negara ini, sengaja membuat mata uangnya terdepresiasi atau melemah terhadap Dolar Amerika.
 
"China, dia biarin mata uangnya melemah ya dia biarin aja, kenapa?. Supaya barangnya lebih murah di AS. Begitu mata uang dia terus melemah dia gak mau intervensi. Nah negara-negara di sekitar dia ikut melemah," jelas Darmin.

Pelemahan Rupiah Saat Ini Tak Separah 1998

Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas memperlihatkan uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan dalam beberapa bulan terakhir. Jumat kemarin, pelemahan rupiah sempat menyentuh angka 14.500 per dolar AS. Kondisi ini dipandang masih lebih baik dibanding 1998.

Pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali mengatakan, rupiah memang mengalami pelemahan dari Oktober 2014 sampai Juni 2018 sebesar 18 persen. Pelemahan rupiah  dari 12.200 per dolar AS menjadi 14.400 per dolar AS.

Menurut Rhenald, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini jauh lebih baik dibanding pada 1997 dan 1998. Saat itu rupiah tertekan 600 persen, dari Rp 2.500 per dolar AS menjadi 16.800‎ per dolar AS. Dengan begitu, pelemahan rupiah terhadap dolar AS jauh lebih besar.

‎"Tapi situasi sekarang berbeda dengan situasi 1998. Saat itu lebih besar, pada 1998 itu dari 2.500 per dolar AS ke 16.800 per dolar AS, naiknya 600 persen, kalau sekarang baru 18 persen," tutur dia di Rumah Perubahan, Bekasi, Sabtu (21/7/2018).

Di era 1998, dengan nilai tukar 2.500 per dolar AS, upah buruh Rp ‎172 ribu per bulan. Usai rupiah melemah menjadi 16.800 per dolar AS, gaji buruh hanya naik Rp 192.

Kondisi ini membuat daya beli turun. Jika dibandingkan dengan pelemahan rupiah saat itu, upah buruh justru mengalami penurunan.

Sedangkan saat ini, lanjut Rhenald, rupiah melemah 18 persen, upah buruh sudah naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3,65 juta. Artinya ada kenaikan 49 persen sejak 2014.‎ Dengan begitu upah buruh masih mengalami kenaikan meski rupiah tertekan.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini terlihat besar, karena angkanya besar dalam belasan ribu rupiah. Kondisi pelemahan mata uang lokal terhadap dolar AS tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain.

"Ini kelihatannya kenaikan besar karena angkanya besar dan semua bangsa mengalami. Dalam situasi ini ada the looser, ada the winer," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya