Liputan6.com, Jakarta - Permasalahan utang pemerintah tengah hangat dibicarakan. Hal ini menyusul pidato Ketua MPR Zulkifli Hasan yang menyinggung soal jumlah cicilan utang pada 2019 tidak wajar. Tak hanya itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun kemudian membalas.
Aksi saling balas kedua bahkan berlanjut hingga media sosial. Lantas bagaimana awal mula "perseteruan" terkait utang ini dimulai? Berikut kronologinya.
Pada Kamis, 16 Agustus 2018, saat Pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI, Zulkifli Hasan menilai, pemerintah tidak bisa klaim rasio utang sekitar 3 persen adalah aman. Ini karena membayar utang Rp 400 triliun per tahun itu sangatlah besar.
Advertisement
"Itu setara tujuh kali dari dana yang disalurkan ke desa-desa, enam kali anggaran kesehatan," ujar dia.
Baca Juga
Pernyataan Zulkifli Hasan ini kemudian langsung ditanggapi Sri Mulyani saat menggelar konferensi pers terkait Nota Keuangan dan RAPBN 2019 di Jakarta Convention Center (JCC) pada Kamis, 16 Agustus 2018, malam.
Menurut Sri Mulyani, saat ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam kondisi sehat lantaran defisit APBN semakin turun dan keseimbangan primer menuju arah yang positif.
"Hanya untuk membuktikan kami mengelola dari sisi keuangan negara adalah sangat hati-hati. Nominal defisit itu yang kadang confuse, sengaja yang dipolitisasi angka itunya," kata dia.
Pada kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga menyayangkan penyataan Zulkifli Hasan yang menyinggung soal anggaran kesehatan yang dikaitkan dengan pembayaran utang. Menurut dia, perhitungan yang disampaikan oleh Ketua Umum PAN tersebut tidak tepat.
"Saya menyayangkan perhitungan Ketua MPR dalam menghitung anggaran kesehatan, yang menghitungnya juga kurang tepat. Karena anggaran kesehatan yang dihitung hanya anggaran yang ada di Bu Menkes. Kesehatan ada yang dengan PBI (Peneriman Bantuan Iuran) dan ada yang berasal dari daerah," tutur Sri Mulyani.
Masalah utang sebenarnya telah disinggung Presiden Jokowi saat menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2019.
"Pengelolaan utang lebih berhati-hati untuk mengurangi risiko dan biaya, serta mengarahkan penggunaannya secara lebih produktif untuk program pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan sosial, serta pembangunan daerah," tutur Jokowi.
Untuk mengendalikan tambahan utang, pemerintahan Jokowi melakukan pengurangan pembiayaan anggaran dalam tahun 2019 sebesar 5,4 persen.
"Langkah pengendalian itu kosisten dengan yang dilakukan di tahun 2018, yang juga mengurangi pembiayaan sekitar 14,3 persen," kata Jokowi.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sri Mulyani Jelaskan Lewat Media Sosial
Namun rupanya, permasalahan saling sindir terkait utang tersebut tidak berhenti sampai di situ. Melalui fanpage Facebook miliknya yang diunggah pada Senin 20 Agustus 2018 kemarin, Sri Mulyani menilai, pernyataan Ketua MPR RI itu sebagai pernyataan politis yang menyesatkan.
Dia menjelaskan, pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun itu dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017.
“Dari jumlah tersebut, 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR saat ini adalah bagian dari kabinet saat itu," ungkap dia.
Sementara itu, kata Sri Mulyani, sebanyak 31,5 persen pembayaran pokok utang adalah untuk instrumen SPN (Surat Perbendaharaan Negara)/SPN-S (Surat Perbendaharaan Negara Syariah) yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas (cash management).
“Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?” tulis Sri Mulyani.
Kemudian terkait perbandingan data yang disampaikan Zulkifli Hasan, Sri Mulyani menjelaskan jika pertama, jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp 117,1 triliun. Adapun anggaran kesehatan Rp 25,6 triliun.
Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp 396 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp 107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali.
“Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen,” terang Sri Mulyani.
Advertisement
Zulkifli Hasan Kembali Membalas
Tak terima dituding menyesatkan, Zulkifli Hasan kembali buka suara terkait hal ini. Politikus PAN itu justru kembali menuding balik dan mengatakan jika Sri Mulyani-lah yang menyesatkan publik prihal pengelolaan utang pemerintah.
"Menyesatkan tuh catet Menteri Keuangan bukan ketua MPR ya. Ini MPR, DPR ini lembaga politik bukan lembaga sosial, lembaga politik tempatnya," sebut Zulkifli.
"Kedua nih. Ini Sri Mulyani sendiri bilang utang, Menteri Keuangan menyatakan utang jatuh tempo mencapai Rp 409 triliun rupiah pernyataan beliau loh di APBN 2018 akan memberatkan anggaran di tahun 2019 nanti," tulis Zulkifli.
Lebih lanjut dia mengatakan, frasa memberatkan tersebut karena pemerintah harus mencari sumber pembiayan lain untuk menutupi defisit. Belum lagi pernyataan Zulkifli yang membandingkan beban utang jatuh tempo dengan anggaran kesehatan pemerintah.
"Banyak ini pernyataan peryataan. Jadi yang menyesatkan itu menteri keuangan ya bahwa anggaran kesehatan ini kata mereka sendiri. Anggaran kesehatan Rp 111 triliun kalau bayar utangnya Rp 409 triliun apa enggak 4 kali?" ujar dia.
Pengelolaan secara Normal
Terakhir, Sri Mulyani Indrawati kembali memastikan pemerintah selama ini melakukan pengelolaan utang dengan normal sama seperti yang dilakukan negara lain.
"Kalau dari sisi pengelolaan utang secara keseluruhan adalah suatu normal. Dari zaman semenjak krisis ekonomi yang tahun 1997-1998 kemudian muncul terbitnya SBN. Untuk rekapitalisasi perbankan itu, pengelolaan sebagian pembayaran cicilan, sebagian role over itu adalah suatu yang normal dilakukan di semua negara," ujar Sri Mulyani di Hotel Borobudur, Jakarta.
Sri Mulyani mengatakan, pengelolaan utang seharusnya tidak hanya disoroti mengenai pembayaran yang akan jatuh tempo. Dia meminta semua pihak melihat secara keseluruhan bagaimana kondisi dan pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah sejauh ini.
"Yang penting bukan masalah jatuh temponya, tapi juga exposure, tapi juga keseluruhan. Jadi, kita selama market-nya confidence dan kita bisa melakukan suatu issuers dari SBN itu sudah masuk growth issuers yang kita pertimbangan tahun depan. Apakah itu sebagian akan dibayar atau sebagian di role over itu suatu yang akan terus kita lakukan dari tahun ke tahun," jelas dia.
"Sama seperti tahun 2000 sampai sekarang 2018, strategi itu tidak banyak berubah dari pemerintah ke pemerintah, dari dulu pemerintahan Bu Megawati, Pak Gus Dur kemudian sampai sekarang itu selalu kombinasi di antara itu," dia menambahkan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, ke depan pemerintah akan terus mengupayakan pengelolaan APBN dilakukan dengan optimal. Termasuk pengelolaan defisit serta komposisi utang dalam dan luar negeri.
"Saya akan tetap melakukan yang paling penting besaran-besaran di APBN itu adalah total defisit kita, primary balanced kita, komposisi utang dalam negeri dan luar negeri, dan juga antara para investor dalam negeri dan luar negeri, ini yang kita akan terus dioptimalkan," tandas dia.
Advertisement