Ekonom: Rupiah Melemah Jadi Obat Kurangi Impor dan Genjot Pariwisata

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung tertekan. Sejak awal tahun, nilai tukar rupiah melemah 9,04 persen terhadap dolar AS.

oleh Agustina Melani diperbarui 05 Sep 2018, 08:20 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 08:20 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas melayani nasabah di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung tertekan. Sejak awal tahun, nilai tukar rupiah melemah 9,04 persen terhadap dolar AS.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menguat terhadap dolar AS ke posisi 14.780 pada Selasa siang 4 September 2018. Pada pembukaan, rupiah berada di posisi 14.822 per dolar AS atau turun 0,04 persen dari penutupan kemarin 14.815 per dolar AS. Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah bergerak di kisaran 14.780-14.845. Nilai tukar rupiah melemah 9,04 persen terhadap dolar AS.

Berdasarkan kurs referensi, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah melemah 73 poin dari posisi 14.767 per dolar AS pada 3 September 2018 menjadi 14.840 per dolar AS pada 4 September 2018.

Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menuturkan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini didorong karena masalah sentimen. Hal ini didorong dari krisis keuangan yang terjadi di Turki, Argentina dan Brazil. Budi menilai, krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut diduga mirip dengan Indonesia pada 1998.

Budi menuturkan, efek krisis keuangan yang terjadi di Turki dan Argentina itu berdampak terhadap negara berkembang termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia juga mencatatkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan.

Tercatat defisit transaksi berjalan sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar.

Angka itu meningkat dibandingkan periode sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dari kuartal I 2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.

Budi mengatakan, pemerintah perkuat ekonomi dengan infrastruktur sehingga butuh barang impor dan pembangunan infrastruktur dilakukan di tengah Amerika Serikat (AS) memperketat kebijakan moneternya. Hal tersebut mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Budi menambahkan, kondisi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS pada 2018 berbeda dari situasi 1998.  "Sekarang tidak seperti 1998. Indonesia sudah bertobat. Ada hal yang buat kondisinya berbeda. Pertama, sekarang flexible rate, dulu fixed rate ketika rupiah melemah utang perusahaan jadi lebih besar dari aset. Kemudian sekarang bank sudah ada yang mengawasi," ujar Budi saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Rabu (5/9/2018).

Budi menuturkan, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ini jadi momen pemerintah untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia dan meningkatkan ekspor.

"Pelemahan rupiah obat tata diri kurangi impor, bisa genjot ekspor dan manfaatkan tourism sehingga jaring dolar AS," ujar Budi.

Dalam laporan menyikapi gejolak rupiah, Budi menyebutkan, faktor kenaikan suku bunga, penguatan dolar Amerika Serikat (AS), dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang yang banyak berutang valas dan impor bahan bakar minyak.

"Sentimen terhadap negara berkembang saat ini cenderung memburuk seperti ditunjukkan oleh pelebaran angka credit default swap dan JP Morgan emerging market spread. Fenomena yang kemudian terjadi adalah rotasi investasi antar aset dan antar regional menuju negara maju,” tutur dia.

 

Menko Darmin: Jangan Bandingkan Rupiah Saat Ini dengan Krismon 1998

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.

Darmin mengatakan, meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Gini deh, jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Pada 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 4 September 2018.

Dia mengaku heran dengan pihak-pihak tertentu yang selalu membanding-bandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis.

"Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu tembus angka terendah 1998-1999. Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," kata dia.

Darmin menyatakan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada 1998. Meski saat ini salah satu kelemahan yang dialami Indonesia, yaitu soal transaksi berjalan yang defisit.

"Kita fundamental ekonomi masih oke. Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, yaitu 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina, itu-lah. Betul, kita lebih kecil. Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita 5 koma persen," jelas dia.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari sisi mana pun, kata dia, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan 1998.

"Dilihat dari sudut mana pun. Meski pun kita ada defisit transaksi berjalan, ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini defisit. Memang ini agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tandas dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya