Liputan6.com, Yogyakarta - Posisi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih bertahan di kisaran Rp 14.800-an per USD. Beberapa waktu lalu bahkan hampir menyentuh Rp 15.000 per USD. Hal ini pun membuat banyak orang membandingkan Rupiah dengan posisi krisis 1998.
Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono, membeberkan beberapa data perbandingan ekonomi kini dan masa 1998. Menurutnya, ekonomi kini jauh lebih kuat dan sehat dibanding masa krisis parah 1998.
Advertisement
Baca Juga
"Pada Oktober 1997 rupiah Rp 2.300, kemudian Januari melonjak Rp 15.000 per USD naik 6 kali lipat. Saat ini loncatnya dari Rp 13 400 ke Rp 15.000. Dari itu saja, kita paham, Rupiah sama sama Rp 15.000 maknanya berbeda," ujar Tony dalam acara Kafe BCA On The Road, Yogyakarta, seperti ditulis Minggu (23/9/2018).
Selain perbandingan level Rupiah, Tony mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 dengan 2018 jauh berbeda. Pada 1998 ekonomi Indonesia cenderung tidak tumbuh atau stagnan, sementara pada Semester I-2018 ekonomi tumbuh dikisaran 5,17 persen.
"Indikator ekonomi yang lain berbeda. Inflasi 1998 itu 78 persen. Inflasi sekarang 3,5 persen. Yang paling membedakan lagi jantung perekonomian indonesia yaitu perbankan. Hampir semua bank kolaps di 1998. BCA disuntik Rp 60 triliun. BCA tahun ini kira-kira labanya diatas Rp 20 triliun. Jadi cukup sehat," jelas Tony.
Dengan data-data tersebut, dia berharap masyarakat dapat memperoleh informasi bagaimana perbedaan Rupiah kini dan masa lalu. Sehingga, tidak lagi dihubungkan dengan potensi mengalami krisis.
"Jadi sama sekali beda. kalau melihat Rp 15.000 ya memang sama dengan 1998. Tapi maknanya beda, underlying beda," jelasnya.
Reporter:Â Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Perang Dagang AS-China Mereda, Rupiah Kembali Menguat
Bank Indonesia (BI) memastikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan stabil ke depan. Hal ini didorong perang dagang AS dan China yang mereda.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah akan stabil, bahkan ada kecenderungan menguat terhadap Dolar AS. Kondisi itu didorong oleh beberapa faktor yang berhasil mendukung penguatan rupiah.
"Stabilnya nilai tukar itu pertama, bahwa risiko di pasar keuangan global itu mereda, baik yang terkait ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat dan China maupun pasar keuangan," kata Perry di Kompleks gedung BI, Jumat, 21 September 2018.
Dia mengungkapkan, saat ini investor global sudah melihat kondisi perang dagang akan berdampak buruk pada ekonomi AS. Oleh sebab itu, investor mulai menarik investasinya dari negeri Paman Sam dan mulai menanamkannya kembali ke negara-negara berkembang.
"Perang dagang ini tidak baik untuk ekonomi AS sehingga mereka lihat mulai menginvestasikan ke berbagai negara emerging market," ujar dia.
Indonesia menjadi salah satu negara yang kembali mendapat suntikan investasi. Bahkan arus modal masuk sudah mulai kembali ke Indonesia sebelum insiden krisis keuangan melanda Turki.
"Arus modal asing masuk ke Indonesia sebelum krisis Turki sudah masuk," ujar dia.
Faktor kedua, ia menuturkan, adalah kepercayaan investor dalam negeri maupun global juga sudah kembali seiring kebijakan-kebijakan yang sudah diambil BI selaku otoritas moneter.
"Confident investor domestik maupun global terhadap langkah kebijakan BI cukup kuat kalau ke investor besar Singapura, London, New York, mereka confident ke ekonomi itu kuat, kebijakan moneter preemtive pendalaman pasar valas yang dilakukan, langkah konkret pemerintah untuk turunkan CAD ini kredibel," kata dia.
Dia menuturkan, Indonesia dipandang memiliki prospek yang baik dan dibedakan dengan sejumlah negara emerging market. Perry juga memberi apresiasi pada pemerintah.
"Dalam kesempatan ini terima kasih ke pemerintah," kata dia.
Â
Advertisement