KEIN Dorong Pemerintah Kembangkan Industri Petrokimia

Wakil Ketua KEIN, Arif Budimanta mengungkapkan beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi depresiasi nilai tukar rupiah.

oleh Merdeka.com diperbarui 26 Sep 2018, 21:30 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2018, 21:30 WIB
KEIN: Industri Antara Butuh Dukungan Pemerintah
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengungkapkan beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghadapi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Salah satunya mendorong industri petrokimia. Dia menuturkan, 50 persen bahan baku bersumber dari produk petrokimia.

"Petrochemical harus dikembangkan. Lebih dari 50 persen kontribusi dari bahan baku itu datang dari basis minyak," kata dia dalam diskusi di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (26/9/2018).

Oleh karena itu, menurut dia, jika produk bisa dihasilkan di dalam negeri alias tidak diimpor,Indonesia dapat mengurangi impor dan menghemat devisa.

"Selama ini kita banyak impor. Kalau kita bisa proses di sini, maka bisa hemat devisa dan akan pengaruh ke CAD," ujar dia.

Selain itu, langkah harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi defisit transaksi berjalan, yang bakal berimbas pada penguatan nilai tukar rupiah adalah memperbaiki neraca jasa.

"PR kita harus kita kerjakan. Apa? Kalau balance of payment, yang membuat BOP (balance of payment) mengurus salah satu faktornya adalah neraca jasa yang posisinya negatif. Itu dari dulu. Dari 40 tahun lalu seperti itu. Ini yang harus kita selesaikan," kata dia.

Dia pun menambahkan, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terjadi tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Thailand dan Malaysia.

"Kita tidak jelek jelak amat. Dibandingkan dengan negara peer, berada dalam kisaran yang sama. Masih sama meskipun kita lihat year to date ada di sekitar 10 persenan. Sejak 1997-1998 terjadi terus bukan sesuatu yang tiba-tiba. Kita pernah menghadapi dalam 18 bulan depresiasi 45 persen," kata dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka 

 

Rupiah Tertekan Rencana Kenaikan Suku Bunga The Fed

Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS
Petugas menghitung uang pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Jumat (18/5). Pagi ini, nilai tukar rupiah melemah hingga sempat menyentuh ke Rp 14.130 per dolar Amerika Serikat (AS). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadsap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Rabu ini. Ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) menjadi pendorong penguatan dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Rabu 26 September 2018, rupiah dibuka di angka 14.944 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.917 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.930 per dolar AS hingga 14.944 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 10,19 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.938 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.893 per dolar AS.

Ekonom Samuel Aset Manajamen Lana Ssoelistianingsih mengatakan, ekspektasi terhadap kebijakan The Fed menaikkan suku bunga di pertemuan FOMC pada 25-26 September ini cukup tinggi direspons pelaku pasar untuk mengakumulasi dolar AS.

"Pasar masih bereaksi sehingga membuat dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang dunia. Suku bunga The Fed diperkirakan naik 25 bps sehingga menjadi 2,25 persen," katanya seperti dikutip dari Antara.

Pada 2018 ini, lanjut dia, pasar masih memperkirakan ada satu kali kenaikan lagi kemungkinan di pertemuan November atau Desember.

Ia menambahkan, begitupun dengan imbal hasil dari obligasi Amerika Serikat. Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat naik 28 basis poin (bps) menjadi 3,09 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya