Rupiah Harus di Bawah 15.000 per Dolar AS Biar Iklim Investasi Cerah

Faktor nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi sebab meski menguntungkan bagi sebagian pihak, yang dirugikan juga cukup banyak.

oleh Merdeka.com diperbarui 25 Sep 2018, 17:24 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2018, 17:24 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Seperti diketahui, pemerintah mentargetkan investasi kembali pada posisi 7 persen di 2019 setelah sempat turun menjadi hanya 5 persen.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM, Wisnu Wijaya Soedibjo menjelaskan, dua faktor utama tersebut adalah kondisi ekonomi global dan nilai tukar rupiah.

"Satu, secara makro, perekonomian dunia harus membaik juga, kedua faktor nilai tukar yang harus kurang lebihnya mestinya harus di bawah 15.000 per dolar AS," kata Wisnu saat ditemui di kantornya, Selasa (25/9/2018).

Wisnu menjelaskan faktor nilai tukar rupiah sangat mempengaruhi sebab meski menguntungkan bagi sebagian pihak, yang dirugikan juga cukup banyak.

"Bayangkan saja dari 13.800 per dolar AS ke 15.000 per dolar AS itu buat sebagian memang sebagian bidang usaha atau pengusaha diuntungkan, tapi sebagian juga dirugikan," ujarnya.

Meski rupiah terdepresiasi saat ini dinilai menguntungka bagi para eskportir namun jika kondisi ini berlangsung lama mereka akan terkena dampak negatif juga. Sebab, ada bahan baku yang masih harus diimpor.

"Cuma kalau lebih banyak kursnya terus meningkat terus lama-lama biarpun yang eksportir akan kena dampaknya juga karena kan eksportir juga sebagian entah itu 10 persen, 5 persen atau bahkan 90 persen bahan bakunya impor, tetap akan kena juga imbasnya. Jadi memang tidak boleh naik terlalu tinggi," terangnya.

Wisnu mencontohkan, sektor industri yang saat ini tengah menjerit di tengah pelemahan Rupiah adalah industri farmasi.

"Yang dirugikan ya industri yang banyak menggunakan bahan baku impor. Yang banyak bahan baku impor itu kan industri farmasi, rata-rata dia 80 sampai 90 persen bahan bakunya masih impor. Kemudian industri elektronika mungkin akan terkena dampak," ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Intergasi Kebijakan

20151113-Ilustrasi Investasi
lustrasi Investasi Penanaman Uang atau Modal (iStockphoto)

Sementara itu, faktor lain yang dapat mendorong iklim investasi adalah integrasi kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Dan yang berikutnya adalah faktor dari kebijakan supaya kebijakan pereknomoian yang dicanangkan, yang ditetapkan oleh pemerintah pusat diikuti juga oleh pemerintah daerah dengan lebih terintegratif," tutupnya.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menegaskan upaya mengerek pertumbuhan ekonomi mesti didukung oleh strategi jitu, terutama di bidang investasi.

Keadaan ekonomi global yang penuh dengan gejolak dan tantangan harus memotivasi Indonesia untuk membuat strategi pembangunan ekonominya sendiri.

"Kita tidak bisa hanya berharap, berdoa semoga tidak ada gangguan global. Semoga permintaan ekspor kita meningkat. Doa itu penting, tapi strategi, effort tidak kalah penting," ujar dia pada Kamis 23 Agustus 2018.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang meningkat di kuartal II 2018, menurut dia tidak bisa dijadikan penyokong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

"Ketika BPS bilang pertumbuhan konsumsi di atas 5 persen kita semua lega. Satu karena kita menganggap daya beli masyarakat sudah pulih, kedua karena memberi dampak ke pertumbuhan ekonomi total," kata dia.

Dia mengatakan, bila menilik negara berkembang lainnya, seperti China, investasi yang tumbuh baik akan memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

"Sebenarnya jawabannya di investasi. Sebenarnya sudah agak membaik di triwulan III tahun lalu 7 persen. Data terakhir kembali lagi di kisaran 5 persen," ujar dia.

"China rata-rata di atas 10 tahun berturut-turut tumbuh dua digit. Apa ini karena orang China gila-gilaan konsumsi, enggak juga. Yang gila-gilaan satu ekspor. Kedua investasi mereka luar biasa. Ini pentingnya kita membuat strategi investasi," imbuhnya.

Meskipun demikian, untuk menyusun strategi investasi yang moncer diperlukan dukungan data yang baik. Pemerintah tidak salah dalam mengambil kebijakan.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya