Liputan6.com, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara angkat bicara terkait kondisi nilai tukar rupiah yang melemah hingga melewati level 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Mirza menegaskan, pada dasarnya kondisi nilai tukar rupiah masih aman meski nilai tukarnya sudah menyentuh level 15.000 per dolar AS.
"Kamu jangan lihat levelnya. Masih aman, yang penting supply dan demand-nya masih jalan," kata Mirza di kantornya, Kamis (4/10/2018).
Advertisement
Mirza menjelaskan, nilai tukar tidak hanya dilihat dari angkanya saja. Melainkan dari faktor-faktor pendoronga lainnya.
"Kalau lihat kurs, jangan lihat angka Rp 15.000-nya, tapi lihat bagaimana volatilitasnya, bagaimana supply dan demand-nya, Kita sudah mengalami volatilitas ini sejak tahun 2013. Dari Rp 10.000 ke Rp 11.000, lalu jadi Rp 12.000, jadi Rp 13.000," ujar dia.
Baca Juga
Selain itu, dia menyatakan kondisi pelemahan nilai tukar saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu juga terjadi di beberapa negara lain yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah.
"Tapi bukan cuma Indonesia, India juga mengalami seperti itu, Filipina, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan. Bahkan negara-negara maju yang suku bunganya lebih rendah dari AS juga mengalami pelemahan kurs. Australia juga. Jadi, yang penting supply dan demand-nya berjalan dengan baik, inflasi terjaga dengan baik. Jadi, jangan terpaku pada level," kata dia.
Mirza mengungkapkan, saat ini Banking Sector Indonesia masih kuat dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal di atas 20 persen.
"Banking sector resiliensinya (kemampuannya) bagus, CAR di semua bank, buku satu sampai buku empat, di atas 20 persen, jadi strong. Minimumnya 8,5 persen, kalau pakai risiko minimum 14 persen. Sekarang semua di atas 20 persen," ujar Mirza.
Dia juga menegaskan kondisi likuiditas perbankan masih baik-baik saja meski BI sudah sering menaikkan suku bunga acuan sejak Mei 2018. Suku bunga acuan BI kini berada di 5,75 persen.
"BI memang naikkan bunga, tapi bunga yang kami lihat di pasar time deposite, kalau BI sudah naikkan 150 bps, bunga di pasar time deposite kenaikannya belum sampai 150 bps jadi masih terkendali. BI selalu siap term likuiditas dengan nama term repo. Ada fasilitas term repo, kami buka di bulan Mei, bulan Juni, jadi BI pasti akan masuk ke pasar untuk tambah likuiditas jika likuiditas rupiah mengetat," kata dia.
Mirza memastikan, likuiditas perbankan saat ini masih mencukupi di tengah tren suku bunga yang tinggi. "Tapi, saat ini likuiditas masih cukup. BI pasti memperhatikan itu," ujar dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Tembus 15.100 per Dolar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin melemah. Bahkan nilai tukar rupiah sentuh posisi 15.100 per dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah ke posisi 15.120 atau melemah 45 poin pada pembukaan perdagangan Kamis pekan ini. Pada perdagangan kemarin, rupiah ditutup di posisi 15.075 per dolar AS.
Sepanjang Kamis pekan ini, rupiah bergerak di kisaran 15.120-15.187 per dolar AS. Sepanjang tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 12,04 persen.
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di posisi 15.133 per dolar AS atau melemah 45 poin pada 4 Oktober 2018 dari periode perdagangan 3 Oktober 2018 di posisi 15.088 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menuturkan nilai tukar rupiah merosot cenderung didorong sentimen eksternal terutama kekhawatiran perang dagang. David menuturkan, JP Morgan menyebutkan perang dagang akan berlangsung lama sehingga memicu kekhawatiran pasar. Selain itu, pasokan valuta asing juga belum berimbang dengan permintaan.
"Di pasar modal masih terjadi outflow. Permintaan valas untuk minyak tinggi tetapi pasokan terbatas. Permintaan valas belum berimbang karena pasokan," ujar David saat dihubungi Liputan6.com.
Meski demikian, menurut David pelemahan rupiah masih bertahap sehingga masih bisa diantisipasi pelaku usaha sektor riil. Apalagi tren rupiah melemah terjadi sejak 2012.
"Pelemahan rupiah pelan-pelan. Tidak seperti Turki. Pelaku usaha juga tidak ingin penguatan dan pelemahan mata uang terlalu cepat," ujar David.
David menuturkan, rupiah masih tertekan hingga akhir tahun. Nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran 14.800-15.000 hingga akhir 2018.
Oleh karena itu, David mengharapkan Bank Indonesia dan Pemerintah dapat merespons dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan. BI diperkirakan masih menaikkan suku bunga acuan sekitar 25 basis poin-75 poin hingga akhir 2018. Hal itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Defisit transaksi berjalan harus turun karena tantangan tahun depan lebih berat. Kuartal III, defisit transaksi berjalan akan di bawah tiga persen," kata David.
Ia menuturkan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi antara lain perang dagang berlangsung lama, kenaikan suku bunga acuan the Federal Reserve dan harga minyak dunia.
Sedangkan pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif agar pengusaha dapat mengendapkan devisa hasil ekspor di Indonesia.
"Dorong ekspor susah. Namun dana ekspor diharapkan masuk dengan buat insentif menarik agar pengusaha konversikan ke rupiah,” ujar David.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement