Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Singapura meningkatkan kemampuan industri farmasi melalui Pharma Innovation Programme Singapore (PIPS) untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Program senilai 34 juta dolar Singapura itu digagas Badan Sains, Teknologi, dan Penelitian (A*STAR).
Pemerintah Singapura menggandeng National University of Singapore (NUS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore Institute of Technology (SIT), perusahaan farmasi GlaxoSmithKline, MSD Internasional GmbH dan Pfizer Asia Pacific Pte Ltd. Kesepakatan diteken dalam acara Industrial Transformation Asia-Pacific (ITAP) di Singapore Expo, pada Selasa 16 Oktober 2018.
Direktur Eksekutif A*STAR, Tan Sze Wee, mengatakan PIPS untuk mencapai target permintaan pasar obat-obatan yang telah bertransformasi. Dalam industri 4.0, saat ini pasar obat-obatan menginginkan obat spesialisasi, harga dan kualitas meningkatkan.
Advertisement
Baca Juga
"Program PIPS akan menjadi tempat uji coba otomatisasi, manufaktur pintar, dan digitalisasi lewat industri internet perusahaan farmasi dalam industri 4.0," ujar dia seperti ditulis Rabu (17/10/2018).
Kerja sama PIPS yang dicanangkan Singapura berfokus pada industri berkelanjutan, bio katalis, teknologi pengendalian dan analisi proses mutakhir, digitalisasi, dan pengembangan produk farmasi.
Tujuannya untuk meningkatkan target lebih tinggi dalam industri berkelanjutan, percepatan produksi, serta obat-obatan diharapkan mudah dijangkau pasien.
"Kami akan menciptakan ekosistem industri farmasi berbasis kolaborasi. Juga meningkatkan kemampuan evolusi industri farmasi di Singapura," kata Tan.
Reporter: Ahda B.
Sumber: Merdeka.com
Kemenperin Ingin Industri Farmasi Lebih Banyak Pakai Bahan Baku Lokal
Sebelumnya, kualitas bahan baku farmasi dalam negeri tidak kalah dengan bahan baku impor. Apalagi negara ini memiliki potensi yang masih besar dalam industri tersebut.
"Saya berkeyakinan kalau produk chemical utamanya itu mendukung pharmacheutical. Saya kira bahan bakunya itu bisa kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Karena bahan baku untuk pharmacheutical seyogyanya untuk farmasi banyak tersebar di negara kita,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ngakan Timur Antara di Yogyakarta, Kamis 30 Agustus 2018.
Meski begitu, Ngakan menyebut masih ada beberapa kendala dalam penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di sektor farmasi. Hal Ini karena perusahaan farmasi meminta penerapan TKDN farmasi dipertimbangkan lagi oleh pemerintah.
"Dia meminta dipertimbangkan kembali. Karena terkait di TKDN, kemudian di farmasi itu terkait dengan obat manusia. Artinya (bahan baku) obat-obatan yang ada di dalam negeri belum mendapatkan sertifikasi atau kepercayaann dari pabriknya,” imbuh dia.
Ngakan mengatakan, beberapa pabrikan farmasi masih ragu untuk mencampur bahan baku dalam negeri. Hal ini karena pertimbangan kesehatan manusia. "Itu berdampak kesehatan orang kan dia tidak berani resiko sangat tinggi. Maka itu dia minta untuk dipertimbangkan lagi,” ujar dia.
Dengan demikian, pemerintah akan mendorong perusahaan farmasi untuk meningkatkan penggunaan TKDN. Antar lain membuat aturan atau regulasi mengenai TKDN.
"Perlu kami dorong atau dukung dengan regulasi dalam arti kalau sekarang mereka belum menerapkan itu, kami berikan waktu sampe berapa tahun, kemudian sampai tes apa yang harus dilakukan agar mereka (perusahaan farmasi) bisa menerima (bahan baku dari dalam negeri),” dia menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement