Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha meminta serikat buruh untuk tidak menuntut kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2019 terlalu besar. Hal ini menanggapi tuntutan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang meminta pemerintah menaikkan UMP 2019 hingga 25 persen.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, kenaikan UMP sebesar 25 persen dinilai melebihi kemampuan pengusaha. Terlebih di dalam kondisi ekonomi seperti saat ini.
Advertisement
Baca Juga
"Dalam penetapan UMP 2019 kami sangat berharap kepada Serikat Pekerja agar jangan menuntut terlalu berlebihan di luar kemampuan dunia usaha," ujar dia di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Menurut dia, serikat buruh juga tidak bisa menuntut kenaikan upah seenaknya. Sebab, pemerintah telah mengeluarkan aturan terkait penetapan upah minimum setiap tahunnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
"PP Nomor 78 Tahun 2015 ini sebenarnya sudah sangat adil dan memberikan kepastian bagi pengusaha dan pekerja. Komitmen pengusaha jelas untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja setiap tahun melalui kenaikan UMP sesuai kemampuan yang dimiliki. Sedangkan bagi pekerja ada jaminan bahwa UMP akan naik setiap tahun," jelas dia.
Selain itu, lanjut Sarman, sebenarnya UMP 2019 diperuntukkan bagi para calon pekerja. Sedangkan pekerja yang sudah lama bekerja harusnya mendapatkan gaji di atas batas minimum tersebut.
"UMP ini sebenarnya titik beratnya kepada calon pekerja yang akan memasuki dunia kerja tahun depan. Karena UMP adalah jaring pengaman sosial yang diperuntukkan kepada orang yang baru pertama kerja, nol pengalaman dan masih bujangan sehingga pekerja yang yang baru memasuki dunia kerja tidak digaji di bawah kebutuhannya," tandas dia.
Usulan Buruh
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah menaikkan UMP 2019 sebesar 25 persen. Angka ini jauh di atas kenaikan yang telah ditetapkan sebesar 8,03 persen.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyatakan pihaknya menolak kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen sebagaimana yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan dalam surat edaran tertanggal 15 Oktober 2018.
Dia menuturkan, kenaikan upah minimum sebesar 8,03 persen akan membuat daya beli buruh jatuh. Hal ini karena kenaikan harga barang, antara lain beras, telur ayam, transportasi (BBM), listrik, hingga sewa rumah, kenaikannya lebih besar dari 8,03 persen.
Lebih lanjut dia menegaskan, idealnya kenaikan upah minimum pada 2019 adalah sebesar 20 hingga 25 persen. Kenaikan sebesar itu didasarkan pada hasil survei pasar kebutuhan hidup layak yang dilakukan FSPMI-KSPI di beberapa daerah.
"Kenaikan upah minimum sebesar 20-25 persen kami dapat berdasarkan survei pasar di berbagai daerah seperti Jakarta, Banten, Bekasi - Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Sumatera," ujar dia di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Oleh karena itu, Said meminta agar kepala daerah mengabaikan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan dan tidak menggunakan PP 78/2015 dalam menaikkan upah minimum.
"Sebab, acuan yang benar adalah menggunakan data survei Kebutuhan Hidup Layak sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," kata dia.
‎Sebagai informasi, kenaikan 8,03 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menetapkan formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi.
Sejak diterbitkan pada 2015, KSPI sudah menolak PP 78/2015 karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ini, kenaikan upah minimum salah satunya berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Â
Advertisement