Liputan6.com, Jakarta Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo menyebutkan penguatan yang terjadi saat ini merupakan bukti keberhasilan kebijakan bank sentral dan pemerintah dalam menjaga stabilisasi rupiah.
Rupiah dibuka menguat pada level 14.945 per Dolar AS pada Selasa (6/11/2018) pagi ini. Rupiah menguat tipis dibanding penutupan perdagangan kemarin di posisi 14.976 per Dolar AS.
"Iya, artinya beberapa kebijakan pemerintah, terutama dengan menekan atau mengelola defisit transaksi berjalan, sudah mulai terlihat hasilnya," kata dia di Jakarta.
Advertisement
Baca Juga
Kendati demikian, dia menegaskan saat ini dampak kebijakan - kebijakan tersebut belum maksimal. Terutama dalam hal pembatasan impor.
"Memang belum bisa dilihat secara maksimal, jangan secara langsung dampak impor berkurang, karena bagaimana pun juga ada impor untuk capex, itu yang terus berjalan. Karena untuk kebijakan investasi, infrastruktur, itu juga masih terus berlangsung," ujarnya.
Namun untuk impor non strategis, misalnya konsumsi sudah relatif lebih rendah. Angka pertumbuhan impor riil di kuartal III-2018 juga turun dibandingan kuartal II-2018.
"Jadi itu sudah dukungan, meski sebenarnya kebijakan itu baru di September, sehingga hasilnya belum begitu terasa di kuartal III-2018. Jadi mungkin lebih banyak kita lihat di kuartal IV 2018," ujarnya.
Dia menegaskan BI dan pemerintah akan terus menjaga rupiah tetap berada di fundamentalnya.
"Stabilisasi rupiah terus kami lakukan, meski tentunya dalam beberapa hal itu dalam tentunya dari kombinasi kami memainkan suku bunga, intervensi, dan nilai tukar itu sendiri didepresikan secara gradual," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Penguatan Rupiah Diprediksi Hanya Berlaku Jangka Pendek
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) tercatat menguat pada hari ini. Penguatan mata uang Garuda berada pada nominal Rp 14.975 per Dolar AS.
Meski demikian, ekonom menilai jika penguatan mata uang rupiah tersebut hanya bersifat jangka pendek. Salah satu sentimen yang akan membawa rupiah kembali tersungkur ialah kondisi global.
"Penguatan rupiah saat ini, saya yakini tidak akan jangka panjang. Penguatan sekarang lebih karena adanya beberapa data ekonomi domestik yang positif di saat tidak adanya tekanan baru dari global," tutur Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah kepada Liputan6.com, Senin (5/11/2018).
Baca Juga
Piter menambahkan, rupiah berpotensi melemah kembali pada akhir bulan November ini. "Jadi penguatan terjadi ketika tidak ada tekanan global baru. Saya perkirakan akhir bulan November ini rupiah akan kembali mengalami tekanan pelemahan," kata dia.
Momentum penguatan ini harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bank Indonesia (BI). Itu guna menjaga nilai tukar rupiah tetap berada pada posisi 15.000 per Dolar AS hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, ekonom Insitute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengungkapkan, perang dagang dan potensi kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS The Fed pada akhir tahun berpeluang besar menggiring rupiah untuk kembali terdepresiasi.
"Sentimen perang dagang bisa berbalik memanas di mana Trump saat ini tengah menyiapkan draft trade deal dengan China. Sementara dari dalam negeri pelaku pasar mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II sebesar 5,27 persen," terang Bhima.
Adapun penurunan pertumbuhan ekonomi ini, kata Bhima, disebabkan rendahnya konsumsi rumah tangga paska Lebaran, industri manufaktur yang tertekan kenaikan biaya bahan baku dan pelemahan kurs rupiah.
"Dengan ini, menanggapi rilis data pertumbuhan ekonomi, investor rentan melakukan penjualan bersih atau net sales. Rupiah pekan ini diproyeksi bergerak dikisaran Rp 14.920-15.150," pungkasnya.
Advertisement