Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan dalam waktu dekat ini baru saja mengeluarkan dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru. Dua aturan itu yakni PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dan PMK 158/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol. Kedua PMK baru itu akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2019.
Ada beberapa poin yang berubah dalam revisi PMK tersebut, salah satunya kenaikan tarif cukai bir atau minuman beralkohol golongan A menjadi Rp 15 ribu, baik untuk produk dalam negeri maupun impor.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finances (Indef) Bhima Yudhistira berpendapat, pemerintah masih tetap bersikukuh untuk mengejar pendapatan dari cukai Hasil Tembakau seperti rokok dan minuman alkohol.
Advertisement
Baca Juga
"Padahal kontribusi minuman alkohol sangat kecil, kurang dari 5 persem dari total penerimaan cukai. Kalau dinaikan cukainya efek buat industri minuman alkohol pastinya akan turun. Tapi poinnya ini bukti bahwa pemerintah tidak berani melakukan perluasan basis cukai," ujar dia kepada Liputan6.com, Senin (17/12/2018).
Dia menambahkan, masih ada banyak produk yang lebih pantas dikenakan tarif cukai, mulai dari plastik kemasan, minuman berpemanis hingga kendaraan bermotor.
"Kalau ekstensifikasi tidak segera dilakukan, maka penerimaan cukai bisa turun. Target penerimaan pajak tahun depan terancam shortfall disaat cukai rokok tidak naik," ujar dia.
Bhima memperkirakan, penerimaan pajak negara pada 2019 masih belum akan mencapai target 100 persen. Menurut dia, prediksi itu bisa terjadi lantaran penerimaan cukai yang melambat dan jumlah impor tahun depan masih tergolong besar. Dalam APBN 2019, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan Rp 1.786,4 triliun.
"Efeknya penerimaan pajak tahun depan diperkirakan hanya tercapai 89-91 persen dari target. Shortfall masih akan terjadi karena penerimaan cukainya melambat, sementara harapan dari bea masuk didorong bengkaknya impor di 2019," tutur dia.
Penjelasan soal Kenaikan Tarif Cukai Bir
Pemerintah menyesuaikan tarif minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dan konsentrat yang mengandung etil alkohol (KMEA) mulai 1 Januari 2019. Penyesuaian tarif ini tertung dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Sejak PMK ini mulai berlaku, maka PMK Nomor 62/PMK.011/2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Penyesuaian tarif cukai dalam PMK 158/2018 hanya dilakukan pada MMEA golongan A (kadar alkohol sampai dengan 5 persen) baik dalam negeri maupun impor sebesar 15 persen (menjadi sebagaimana terlampir) dengan pertimbangan:
a. Penyesuaian tarif cukai cukai dilakukan dengan mempertimbangkan kisaran tingkat inflasi dalam empat tahun terakhir;
b. MMEA golongan B (kadar alkohol lebih dari 5 persen s.d. 20 persen) dan MMEA golongan C (kadar alkohol lebih dari 20 persen) telah dikenakan tarif bea masuk yang cukup tinggi masing-masing sebesar 90 perse dan 150 persen;
c. Kebijakan non fiskal berupa penindakan MMEA ilegal yang intensif telah berhasil meningkatkan volume impor MMEA golongan B dan C yang sebelumnya diisi oleh MMEA impor ilegal.Selain itu, penyesuaian sistem tarif dilakukan pada KMEA yang dikenakan mengikuti international best practices.
Sistem tarif cukai untuk KMEA yang selama ini berlaku adalah untuk KMEA jenis cair, sementara best practice yang ada di dunia dapat berbentuk padat atau sering dikenal dengan powdered alcohol (HS 2106), sehingga diperlukan penyesuaian tarif cukai KMEA dengan mengkonversi Rp 100.000 per liter menjadi Rp 1.000 per gram.
Tarif cukai tembakau
Kebijakan tarif cukai Hasil Tembakau (HT) tahun 2018 akan dilanjutkan pada tahun 2019 dengan menetapkan kebijakan cukai HT tahun 2019 melalui PMK tentang Perubahan Atas PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, dengan pokok-pokok perubahan ketentuan di antaranya, yaitu:
a. Tidak ada kebijakan kenaikan tarif cukai HT maupun kenaikan batasan Harga Jual Eceran minimum, sehingga tetap mengacu pada Pasal 6 dan 7 PMK 146/2017;
b. Menambah ketentuan terkait batasan harga jual eceran minimum Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) sehingga perlu mengubah Bab I Ketentuan Umum dan Lampiran II PMK 146/2017.
Penyusunan kebijakan HT mempertimbangkan aspek yaitu pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, tenaga kerja, dan pemberantasan rokok ilegal. Sepanjang 2013–2018, kenaikan tarif cukai dan penyesuaian harga jual eceran HT telah berhasil mengendalikan produksi HT dengan penurunan produksi sebesar 2,8 persen dan meningkatkan penerimaan negara sebesar 10,6 persen.
Namun demikian, dari aspek tenaga kerja, Pemerintah masih perlu memberikan ruang bagi industri padat karya dengan menjaga keberlangsungan tenaga kerja yang perkembangannya stagnan.
Selanjutnya, pencapaian target penerimaan cukai hasil tembakau tahun 2019 akan lebih memfokuskan pada upaya pemberantasan peredaran rokok illegal. Hal tersebut dimaksudkan agar industri HT legal dapat tumbuh dan mengisi pasar illegal yang pada akhirnya diharapkan dapat menambah penerimaan negara sekaligus menjaga keberlangsungan tenaga kerja.
Selain itu, upaya intensifikasi cukai lebih dioptimalkan berupa pengenaan cukai pada produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang kinerja penerimaannya dalam tiga bulan terakhir sudah mencapai lebih dari Rp 154,1 miliar sehingga diharapkan target penerimaan cukai tahun 2019 masih dapat dicapai (on the track).
Kebijakan tarif cukai HT tahun 2018 dipandang masih efektif dengan beberapa parameter seperti aspek pengendalian konsumsi, tenaga kerja, industri, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Di samping itu, dalam menyusun kebijakan tarif cukai ini senantiasa mendengar berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai pihak baik secara tertulis maupun audiensi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement