Liputan6.com, Jakarta Holding Industri Pertambangan Inalum akan segera meningkatkan kepemilikannya di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen. Namun, ada anggapan jika seharusnya Inalum bisa menjadi pengendali PTFI secara gratis setelah kontrak perusahaan tersebut berakhir pada 2021. Apakah memang demikian?
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Thomas Jan Bernadus dalam keterangan rilisnya, kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas) pada umumnya. Perusahaan migas lainnya, jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis menjadi milih pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan di sektor migas, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dollar AS per tahunnya. Â
Baca Juga
Kontrak PTFI memang akan berakhir pada 2021, tetapi klausul dalam kontrak tersebut mempersulit posisi pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak hingga 2041. Jika tidak memperpanjang, maka Indonesia terancam digugat di pengadilan internasional. Tidak ada jaminan pemerintah  akan menang di pengadilan tersebut dan jika kalah akan diwajibkan membayar ganti rugi senilai puluhan triliun rupiah.
Advertisement
Dalam kontrak Freeport, banyak pasal-pasal yang menyandera pemerintah. Penyelesaian masalah Freeport tidak segampang mengobarkan jargon nasionalisasi ala Venezuela yang sekarang menjadi negara bangkrut.
Sejak 2 tahun terakhir, pemerintah bernegosiasi dengan Freeport McMoRan (FCX), induk PTFI, agar mau melepas kendali mereka di PTFI, membangun pabrik pengolahan baru, dan mengubah Kontrak Karyanya (KK) menjadi IUPK dengan imbalan perpanjangan masa operasi hingga 2041.
Selama PTFI masih berstatus KK, maka selama itu pula kedudukannya sejajar dengan pemerintah. KK juga dianggap sakral karena apa yang tertera di situ setaradengan undang-undang.Â
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 dan diperbarui melalui KK tahun 1991 dengan masa operasi hingga 2021.Â
Terkait dengan masa operasi tersebut, FCX dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal 31-2 KK (Term Clause). Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir pada 2021, tetapi mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".Â
Seharusnya, ketika kontrak berakhir pada 2021, isi di dalam kontrak menuliskan hal ini secara jelas. Namun pada kenyataannya, di pasal tersebut ada tambahan kalimat yang memicu interpretasi berbeda. Arbitrase yang berhak menentukan definisi final atas kalimat itu.
Proses panjang arbitrase akan menyebabkan ketidakpastian operasi, membahayakan kelangsungan tambang, serta ongkos sosial ekonomi, khususnya ke Kabupaten Timika dan Provinsi Papua yang amat besar. Sebagai gambaran, 90% persen kegiatan ekonomi 300.000 penduduk Mimika bergantung pada operasional PTFI. Akibat proses arbitrase, PTFI bisa saja mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatannya di sana.
Â
Â
Â
(*)