Optimisme Penyelesaian Perang Dagang Bikin Rupiah Menguat ke 13.986 per Dolar AS

Data kurs Reuters, rupiah dibuka di 14.075 per dolar dan sempat menyentuh level 13.986 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 08 Jan 2019, 11:23 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2019, 11:23 WIB
Rupiah Menguat Tipis atas Dolar
Pekerja bank menghitung uang dollar AS di Jakarta, Jumat (20/10). Pagi ini, Rupiah dibuka di Rp 13.509 per USD atau menguat tipis dibanding penutupan perdagangan sebelumnya di Rp 13.515 per USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan penguatan yang telah dibukukan sebelumnya. Optimisme kesepakatan AS dengan China mendorong penguatan rupiah.

Mengutip Bloomberg, Selasa (8/1/2019), rupiah dibuka di angka 14.059 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.082 per dolar AS. Menuju siang, rupiah terus menguat hingga menyentuh 14.002 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di rentang 14.002 per dolar AS hingga 14.059 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 2,43 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.031 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang di angka 14.105 per dolar AS.

Untuk data kurs Reuters, rupiah dibuka di 14.075 per dolar dan sempat menyentuh level 13.986 per dolar AS. Namun kemudian rupiah kembali ke kisaran 14.050 per dolar AS.

Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, optimisme pelaku pasar terhadap negosiasi dagang antara AS dengan China akan tercapai kesepakatan menjadi faktor penopang bagi mata uang di kawasan Asia, termasuk rupiah.

"Di tengah minimnya data ekonomi, pelaku pasar terlihat optimis akan adanya progres pada pertemuan kali ini," katanya dikutip dari Antara.

Di tengah situasi itu, ia menambahkan, mata uang berisiko seperti rupiah kembali membuka peluang untuk melanjutkan penguatannya.

Selain itu, lanjut dia, sentimen dovish mengenai prospek kebijakan moneter Federal Reserve (Fed) tahun ini turut menjadi faktor yang menopang mata uang berisiko.

"Sikap dovish The Fed mengenai pengetatan kebijakan pada 2019 memicu peralihan dana ke aset berisiko," katanya.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menambahkan mata uang kuat Asia, seperti yen Jepang, dan dolar Singapura menguat terhadap dolar AS, itu menjadi sentimen penguatan rupiah.

"Diproyeksikan rupiah menuju kisaran antara Rp13.950-Rp14.000 per dolar AS pada hari ini," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Usul Chatib Basri ke Pemerintah Buat Jaga Rupiah

Rupiah-Melemah-Tipis-Atas-Dolar
Petugas Bank tengah menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis pada perdagangan Selasa pekan ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pun angkat bicara mengenai penguatan rupiah terhadap dolar AS. Lewat akun twitter @ChatibBasri, ia menulis kalau penguatan rupiah tersebut juga didorong dari faktor pernyataan pimpinan bank sentral AS atau the Federal Reserve Jerome Powell.

Chatib menulis, pidato Jerome Powell yang mengatakan the Federal Reserve akan bersabar dalam menaikkan suku bunga telah membawa dampak terhadap penguatan nilai tukar banyak negara termasuk nilai tukar rupiah.

Ia menduga, hal itu dapat memicu aliran dana investor asing masuk ke pasar keuangan termasuk Indonesia. “Dugaan saya arus modal masuk akan kembali terjadi dan pasar keuangan akan bergairah," tulis dia.

Namun, Chatib Basri mengingatkan sejak dini. Arus modal tersebut suatu hari akan kembali lagi keluar karena sifatnya hot money. Apalagi Indonesia juga masih punya masalah defisit transaksi berjalan yang belum terselesaikan.  “Jika Fed kemudian kembali lagi menaikkan bunga dengan cepat, maka situasi 2018 akan berulang,” tulis dia.

Ia mengingatkan perlunya sejak awal mengenai pendalaman pasar keuangan agar dapat mendorong peran investor lokal lebih dominan. Salah satu cara, menurut Chatib dengan memberikan insentif atau buat aturan agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dana haji dan ritel untuk menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah.

“Saya ingin mengingatkan sejal awal tentang perlunya financial deepening supaya peran dari investor lokal lebih dominan. Selain itu perlu macro prudential dalam bentuk tobin taxreverse tobin tax atau aturan lain untuk mengatasi gejolak arus modal,” tulis dia.

Chatib menuturkan, jika dalam tobin tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse tobin tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungan untuk jangka panjang.

Selain itu, ia mendorong untuk diciptakan instrumen dan produk pasar keuangan agar masyarakat Indonesia juga memiliki pilihan untuk menempatkan portofolio investasi dalam mata uang asing di Indonesia (on shore).

"Lebih baik orang menempatkan investasi portofolionya dalam mata uang asing on shore ketimbang orang menempatkannya di luar negeri (off shore). Karena tidak adanya produk atau instrument di pasar keuangan yang tersedia,” tulis dia.

Chatib menuturkan, ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan akan meningkatkan pasokan dolar AS di dalam negeri. Selain itu juga Indonesia juga harus perbaiki iklim investasi.

Lebih lanjut ia menambahkan, kalau tanpa ada pendalaman pasar keuangan dan aturan situasi 2018 akan berulang. “Saya ingat satu obrolan dengan ekonom Carmen Reinhart di Harvard beberapa tahun lalu: 3 kata yang paling berbahaya adalah this time is different. Dan policy maker cenderung berkata itu pada saat arus modal masuk,” tulis dia.

“Saatnya bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan dengan menganggap bahwa arus modal yang masuk, rupiah yang menguat, pasar keuangan yang bergairah ini berbeda dengan yang lalu. This is (not) different,” ia menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya