Sektor Ritel Masih Tertekan pada 2019, Ini Pemicunya

Industri ritel diprediksi masih tertekan ke depan. Hal itu didorong dari sejumlah faktor.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 15 Jan 2019, 19:10 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2019, 19:10 WIB
20151217-Kemendag Wajibkan Peraturan SNI Kepada Pengusaha Ritel
Suasana di pusat perbelanjaan di Tangerang, Banten, (16/12). Aturan pencantuman tersebut selain bagi importir atau produsen, juga diwajibkan bagi pedagang pengumpul. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Industri ritel diprediksi masih tertekan ke depan. Hal itu didorong dari sejumlah faktor, salah satunya konsumsi rumah tangga.

Untuk mengatasi tekanan, sejumlah perusahaan ritel memiliki strategi dengan efisiensi, seperti menutup gerai dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Salah satunya baru-baru ini dilakukan PT Hero Supermarket Tbk dengan menutup 26 gerai dan PHK 532 karyawan pada 2018.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, hal tersebut masih akan berlanjut pada 2019 lantaran banyak faktor yang melatarbelakanginya.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adinegara menilai, gejolak sektor bisnis ritel pada 2018 disebabkan karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga terbilang stagnan.

"Retail masih tumbuh rendah tahun 2018 kemarin, karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga enggak naik signifikan, rata-rata stagnan di 5 persen," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/1/2019).

Merujuk catatan pada kasus Hero Supermarket, ia melihat ada penurunan penjualan di bidang makanan hingga 6 persen. Ia menuturkan, itu merupakan indikator adanya perlambatan konsumsi rumah tangga.

Akibatnya, dia menghitung hingga sejauh ini ada sekitar lima ritel yang menutup usahanya. Antara lain 7 Eleven (Sevel), gerai Matahari di Pasaraya Blok Mahakam dan Manggarai, Lotus, Debenhams, dan GAP.

"Sementara yang mengurangi gerai ada Hero Group dan MAP," ia menambahkan.

Bhima pun memperkirakan, gelombang penutupan ritel ini tetap akan berlanjut pada 2019 selama konsumsi rumah tangga dan daya beli melemah. "Kondisi makro memang mulai pulih, tapi sangat lambat," tegas dia. 

Faktor lainnya, ia menyebutkan, harga komoditas perkebunan yang rontok juga bakal mempengaruhi daya beli masyarakat, baik di Jawa maupun luar Jawa. 

Selain itu, dia memandang masyarakat masih banyak yang menahan diri untuk belanja meskipun inflasi hanya menyentuh 3,1 persen. "Ada pemilu juga yang bikin masyarakat khawatir gaduh. Ini terutama kondisi kelas menengah perkotaan," ia menambahkan.

Dia juga turut menyoroti faktor bunga kredit yang semakin mahal. Hal itu membuat masyarakat berpikir berulang kali untuk berbelanja dengan kartu kredit.

"Belum cicilan rumah dan kendaraan bermotor jadi naik. Alokasi untuk beli kebutuhan pokok di supermarket berkurang," ujar dia.

 

Pengusaha Ritel Harus Inovatif

Ilustrasi supermarket (iStock)
Ilustrasi supermarket (iStock)

Sebelumnya, industri ritel di Indonesia kini tengah disoroti. Mulai dari Hero Supermarket yang resmi menutup 26 toko ritelnya, Neo Central Soho juga dikabarkan dalam waktu dekat akan meniru langkah yang sama untuk menutup gerai.

Vice President Corporate Communications Transmart Carrefour, Satria Hamid mengatakan, pasar industri ritel memang dihadapkan pada situasi sulit. Meski begitu, industri ritel offline bukan berarti padam.

"Tak bisa dipungkiri perubahan penetrasi dari bisnis ritel online sudah marak masuk ke Indonesia. Fenomena ini sudah terasa sejak 10 tahun silam makanya kita antisipasi dan me-remodeling bisnis kami yang dulu carefour menjadi transmart," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa 15 Januari 2019.

Satria menuturkan, pentingnya untuk terus mengamati perubahan pasar dan kebutuhan konsumen yang terus berkembang. Kata dia, hal ini merupakan kunci bagi bisnis ritel untuk bisa bertahan.

"Kita industri retail harus lihat kebutuhan konsumen, kreatif, dan juga inovatif. Jadi industri retail offline belum bisa dikatakan padam sejauh bisa mencoba memenuhi kebutuhan konsumen. Karena online sendiri menurut saya hanya diversifikasi pasar saja," ujar dia.

Oleh karena itu, dia menganjurkan agar ritel-ritel di Indonesia dapat terus beradaptasi dengan perkembangan yang terus berubah. Termasuk dalam memposisikan toko ritel masing-masing di masyarakat.

"Untuk industri ritel jangan pernah putus asa. Yang offline harus bisa beradaptasi dan menekankan jati diri toko ritel kita itu dimana posisinya. Memang harus mewarkan ide-ide yang out of the box" imbuh dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi dan Media Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi menuturkan, sudah saatnya bagi industri ritel masuk ke dalam bisnis digital (e-commerce).

Menurut dia, perubahan penetrasi bisnis dari offline ke online penting guna memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin ingin efisien dari waktu ke waktu.

"Ya jadi memang sudah saatnya, atau lebih tepat peritel memiliki online store," kata dia.

Sejak 2017, industri ritel alami tekanan hingga akhirnya menutup gerai. Sejumlah ritel yang tutup gerai antara lain 7 Eleven (Sevel) yang tutup pada 30 Juni 2017, selain itu Matahari menutup gerainya di Pasaraya Blok M dan Manggarai, serta mal Taman Anggrek.

Kemudian PT Mitra Adiperkasa Tbk menutup gerai Lotus yang berada di lima lokasi pada Oktober. Lotus dioperasikan oleh PT Java Retailindo yang sahamnya 100 persen dimiliki PT Mitra Adiperkasa Tbk.

Tak hanya Lotus, Perseroan juga menutup Debenhams yang berada di Senayan Citu, Kemang Village dan Supermall Karawaci.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya