Indef Prediksi Ekspor Indonesia Hanya Tumbuh 6 Persen di 2019

Pertimbangan lain yang membuat kinerja ekspor berada di bawah target pemerintah yakni tidak lepas dari gejolak perekonomian dunia.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jan 2019, 19:29 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2019, 19:29 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memprediksi pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2019 hanya akan mencapai sekitar enam persen. Angka tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dari yang dipatok pemerintah sebesar tujuh persen.

"Saya prediksi hanya enam persen. Sangat mungkin lebih rendah dari 2018. (Sebelumnya) pemerintah targetkan sekitar tujuh persen," ujar dia dalam acara diskusi Forum Tebet, Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Presiden 2019, di Jakarta, Senin (28/1/2019).

Bhima mengatakan, pertimbangan lain yang membuat kinerja ekspor berada di bawah target pemerintah yakni tidak lepas dari gejolak perekonomian dunia. Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat atau USD dan perang dagang antara China dan AS masih akan berlanjut.

Di samping itu, selain dari dua faktor tersebut, tantangan besar lain dalam menggenjot ekspor Indonesia juga datang dari sikap proteksionisme oleh sejumlah negara. Setelah pada 2018 datang dari India, baru-baru ini justru dihadapkan dengan Filipina.

Bima menyebut, saat ini Filipina telah menyampaikan protes terhadap defisit transaksi perdagangan yang semakin lebar dengan Indonesia. Protes ini diperkirakan dapat berdampak pada proteksi terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia.

"Kalau tidak segera ditangkal, khawatir akan menyebar ke negara ASEAN lain dan bisa ke tujuan ekspor sawit. Ini masalah gerak cepat dari pemerintah untuk meyakinkan dari pihak Filipina khususnya Menteri Pertanian bahwa proteksi ini justru merugikan pengusaha lokal dan konsumen di sana karena harga minyak sawit lebih terjangkau bagi konsumen filipina dibandingkan minyak nabati lain," jelasnya.

Hal kedua, dia mengingatkan jika rantai pasok minyak nasional ada pada industri pengolahan produk turunan dari kelapa sawit. Dia khawatir akan kekurangan bahan baku kalau ada proteksi dagang.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Pertumbuhan Ekspor Kuartal III 2018 Menurun
Sebuah Perahu nelayan melintas di dekat kapal yang mengangkut peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/11). (Merdeka.com/ Iqbal S. Nugroho)

Untuk itu, sebagai solusi dirinya menekankan pemerintah harus cepat melakukan diversifikasi produk dan negara asal tujuan ekspor. Meski butuh waktu lama, proses ini harus dijalankan dari sekarang. Sebab, jika tidak, dikhawatirkan kinerja ekspor dapat terus menurun.

Di samping itu, pemerintah juga harus lebih agresif dalam mengalokasikan dana lebih untuk tim negosiasi dan perundingan. Apabila ada riak protes ke produk indonesia, pemerintah juga harus cepat tanggap.

"Selama ini kekurangan ekspor kita adalah kinerja dari tim perundingan dan negosiasi yang masih dianggap lemah karena anggaran kurang," pungkasnya.

 

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya